MAKALAH
“SEJARAH
PEMBUKUAN DAN PERKEMBANGAN
KAWA’ID FIQHIYYAH”
Oleh:
NAMA : ULUL AZMI
JURUSAN AKHWAL SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM (UIN)
MATARAM
2018
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah tuhan semesta alam atas limpahan rahmat serta karunianya
sehingga makalah yang berjudul “QAWA’ID
FIQHIYYAH” inidapat terselesaikan.Selawat serta salam tak
lupa pula kita haturkan kepada junjungan alam nabi besar Muhammad SAW.
Dengan terselesainya
maklah ini , kami mengharapkan kepada teman-teman agar dapat memahami secara
mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang dikaji dalam makalah
kami.
Kami
menyadari bahwa dalam makalah yang kami buat ini masih ada kekurangan dan kekhilafan.Oleh
karna itu, kepada para pembaca dan para pendengar, kami mengharapkan saran dan
keritik konstruktif demi kesempurnaan makalah ini pada pembuatan yang
selanjutnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu kekayaan peradaban Islam di dalam bidang hukum
yang masih jarang ditulis
adalah Kaidah Fiqih. Adapun yang
sudah diperkenalkan antara lain tafsir, hadis, ushul fiqih dan fiqih, ilmu
kalam dan tasawuf.Walaupun dibidang ini pun masih terus perlu dikoreksi,
dielaborasi, dan dikembangkan sebagai alat dalam mewujudkan Islam sebagai
rahmatan li al-‘alamin.
Kaidah-kaidah Fiqih merupakan kaidah yang menjadi titk temu
dari masalah-masalah fiqih. Mengetahui kaidah-kaidah fiqih akan memudahkan akan
memberikan kemudahan untuk menerapkan
fiqih dalam waktu dan tempat yang
berbeda untuk kasus, keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan. Selain itu juga
akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik,
budaya dan lebih mudah dalam memberi solusi terhadap problem-problem yang terus
muncul dan berkembang dengan tetap
berpegang kepada kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan hikmah yang terkandung
di dalam fiqih.
Mengingat kaidah Fiqih merupakan salah
satu cabang keilmuan
dalam Islam yang biasa
disebut Ilmu Qawaid
Al-Fiqhiyyah atau dalam
terminologi lain dikenal
Al-Asybah Wa Al-Nazhair.
Ilmu ini juga memenuhi prasyarat sebagai ilmu yang independen dan
memiliki teori-teori seperti
pada khasanah keilmuan
pada umumnya serta ruang lingkup
yang sangat luas. Adapun
dalam makalah ini, memaparkan
tentang Sejarah Pertumbuhan, Perkembangan dan Pengkodifikasian Qawaid
Al-Fiqhiyyah.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Pembukuan Kawa’id
Fiqhiyyah ?
2. Bagaimana Sejarah Pekembangan
Kawa’id Fiqhiyyah ?
C.
Tujuan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Pembukuan
Kawa’id
2. Untuk Mengetahui Perkembangan
Kawa’id
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Kawa’id Fiqhiyyah
Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi
disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus
berlanjut pada masa setelahnya.Ulama pertama yang melakukan pembukuan ilmu
Qawaid Fiqhiyyah adalah ulama dari mazhab Hanafi, yaitu Abu Hasan Al Karkhi
(wafat 340 H). Dalam risalahnya yang berjudul Ushul Al Karkhi, Abu Hasan Al
Karkhi mengembangkan 17 kaidah dari Imam Abu Tahir al Dabbas menjadi 39 kaidah.
Setelah Karkhi ulama mazhab Hanafi yang mengembangkan ilmu Qawaid Fiqhiyyah
adalah Abu Zaid Ubaidullah al Dabbusi (wafat 430 H) dalam kitabnya Ta’sis an
Nadhar.
Selanjutnya
Ilmu qawaid fiqhiyyah semangkin mengalami perkembangan.Pada abad ke-7 H qawa’id
fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlau dini
untuk dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab qawa’id pada abad ini
adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H) ia
menulis kitab dengan judul “al-Qawa’id fi Furu’I al- Syafi’iyah” , kemudian
al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawa’id al-Ahkam fi
Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. Dari kalangan madzhab
Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis
“al-Mudzhb fi Qawa’id al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan
bahwa qawa’id fiqhiyyah menglami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H.
Qawa’id fiqhiyyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikt mulai
meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid
fiqhiyyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyaknya bermunculannya
kitab-kitab Qawa’if fiqhiyyah.Dalm hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang
paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
- al-Asyabah
wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
- kitab
al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
- al-Majmu’
al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H). dll
Karya-karya besar yang mengkaji
qawa’id fiqhiyyah yang disusun pada abad IX H banyak mengikuti metode
karya-karya abad sebelumnya. Diantara karya-karya tersebut adalah:
- Kitab
al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
- Asnal
Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w.
808 H)
- kitab
al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H). dll
Dengan demikian, ilmu qawa’id
fiqhiyyah berkembang secara berangsur-angsur.Pada abad VIII H, perkembangan ini
qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama
sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah.Hal ini dapat dilihat
misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.
Pada
abad X H, pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah semakin berkembang.Imam al-Suyuti
(w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyyah yang paling penting
dari karya al-‘Alai, al-subaki, dan al-zarkasyi.Ia mengumpulkan kaidah-kaidah
tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya ketiga tokoh
ulama tersebut masih mencakup qawa’id ushuliyah dan qawa’id fiqhiyyah, kecuali
kitab karya al-Zarkasyi.
Pada
abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang.Dengan demikian,
fase kedua dari ilmu qawa’id fiqhiyyah adalah fase perkembangan dan
pembukuan.Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi.Para
ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan
ilmu Qawa’id fiqhiyyah.
B. Sejarah Perkembangan Kawa’id Fiqhiyyah
Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah sebenarnya tidak terlepas dari
masa terdahulu, yaitu ada masa
Rasulullah Saw, masa Sahabat, dan masa
Tabi’in. Pada masa-masa ini keberadaan
sebuah ilmu masih dalam bentuk bakunya yang bersumber dalam Al-Quran
maupun
keterangan-keterangan Rasulullah
Saw yang dikenal dengan
Sunnah. Konteks keilmuan secara
umum pada abad-abad pertama belum
memiliki sistematika dan
metodologi khusus. Hal ini disebabkan segala
persoalan yang dihadapai ketika
itu dijelaskan secara langsung oleh
Rasulullah Saw Akibatnya
ijtihad yang masih berada diantara
benar atau salah
tidak diperlukan. Akan
tetapi, benih-benih kaidah sebenarnya sudah ada semenjak masa Nabi[1]
Beliau adalah penjelas
utama dari kandungan
ayat-ayat al-Quran dalam
menghadapi problematika kehidupan
yang memerlukan hukum baru. Di sisi lain, Rasululah akan menggali
hukum dengan beristinbat
terhadap ayat-ayat al-Quran
apabila keterangannya masih global. Prosesnya inilah
yang selanjutnya melahirkan
proses pembentukan hukum-hukum
Islam termasuk Qawaid
Fiqhiyyah. Atas Keterangan di atas dapat dipahami bahwa
keberadaan Qawaid fiqhiyyah pada periode awal masih dalam tunas
perkembangan. Pada proses munculnya
Qawaid Fiqhiyyah dapat
dikelompokan dalam tiga
periode
a)
Periode
Rasulullah Saw
Pada periode ini, tidak ada spesialisasi ilmu tertentu yang dikaji dari al-Qur’an
dan al-Hadis. Semangat Sahabat sepenuhnya dicurahkan kepada jihad dan
mengaplikasikannya apa yang diperoleh dari Rasulullah berupa ajaran al-Qur’an
dan al-Hadis.
b)
Periode
Sahabat
Pada periode ini pola pikir sahabat mulai mengalami transformasi kearah ijtihad, dimana
dalam pengambilan hukumnya itu merujuk pada
al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini
disebabkan karna banyaknya persoalan baru yang tidak pernah terjadi pada masa
Rasulullah Saw.Kemudian pada periode inilah juga mencul penggunaan ra’yu,
qiyas, ijma.
c)
Periode
Tabi’in
Mengenai
keberadaan Qawaid Fiqhiyyah pada masa tabi’in, bisa dikatakan pada masa ini adalah masa awal
perkembangan fiqih. Dimana hal yang menonjol pada masa
ini yaitu dimulai pendasaran
terhadap ilmu fiqih.
Begitu juga, tentang latar belakang sejarah perkembangan
hukum Islam tidak mengkaji Qawa’id Fiqhiyyah secara menyeluruh. Menurut Ali
Ahmad al-Nadawi, perkembangan Qawa’id Fiqhiyya dapat dibagi kedalam tiga fase
berikut:[2]
- Fase
pertumbuhan dan pembentukan;
- Fase
perkembangan dan pengkodifikasikan;
- Fase
pemantapan dan pesistematisan.
Pada
periode Rasulullah Saw, otoritas tertinggi dalam pengambilan hukum dipegang oleh Rasulullah
Saw. Semua persoalan yang ada di tengah masyarakat bisa dijawab dengan sempurna
oleh al-Qur’an dan hadis Nabi.Fiqh pada masa itu digunakan untuk menunjukan
segala sesuatu yang dipahami dari teks al-Qur’an dan as-Sunnah, baik persoalan
akidah maupun hukum dan adab. Masa kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan
hukum islam) merupakan embrio kelahiran Qawa’id Fiqhiyyah. Rasulullah Saw
menyampaikan hadits-hadits yang singkat dan padat. Hadist –hadits itu dapat
menampung masalah-masalah fiqh yang sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian,
hadits Rasulullah Saw di samping sebagai sumber hukum, juga sebagai Qawa’aid
Fiqhiyyah.
Setelah
menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan menyatakan , dengan hadits jawami’ al-kalim (singkat padat)
Rasulullah Saw menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat menghilangkan dan
mengacaukan akal (adalah) haram. Rasul
tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis makanan
atau minuman. Ini adalah ketetapan Rasulullah Saw, yaitu hukum meminum minuman
yang memabukkan adalah haram.Setelah wafatnya Rasulullah Saw kemudian
dialanjutkan oleh para sahabat, tabi’in dan iman mujahidin.[3]
Kumpulan-kumpulan
kaidah dalam Qawaid Fiqiyah tidaklah terbentuk dan terkumpul dengan sekaligus
seperi halnya kitab undang-undang hukum positif, yang di bentuk dengan
sekaligus oleh para ahli hukum, akan tetapi dirumuskan sedikit demi sedikit
secara berangsur-angsur, sehingga terkumpul menjadi banyak. Rumusan-rumusan
kaedah tersebut adalah hasil pembahasan yang dilakukan oleh para fuqha besar
ahli takhrij dan tarjih dengan mengistimbatkan dari nash- nash syariah yang bersipat
kuli, dasar-dasar ushul fiqh , ilat-ilat hukum dan buah pikiran mereka.[4]
Pada umumnya sulit untuk diketahui siapa penulis pertama
dari tiap-tiap kaedah. Yang dapat diketahui dengan mudah penulis pertamanya
ialah kaedah yang berbunyi “ perumusankaedah
ini berasal dari hadis”[5].atau
kaedah yang berasal dari pendapat Iman Abu Yusuf dalam kitabnya al kharaj yang
dipersembahkan kepada Raja Harun Arrasyid yang berbunyi “tidak ada wewenang
bagi imam untuk mengmbil sesuatu dari seseorang kecuali dengan dasar-dasar
hukum yang berlaku”
Kemudian Abu Saad Al-Harawi, seorang
ulama mazhab Syafi’i
mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah fiqih yang
dihafalkan oleh Abu Thahir. Setelah
kurang lebih seratus tahun kemudian, datang Ulama besar Imam Abu Hasan
al-Karkhi yang kemudian menambah kaidah
fiqih dari Abu Thahir menjadi 37 kaidah. Keterangan diatas menerangkan bahwa
kaidah-kaidah fiqih muncul pada akhir abad ke-3 Hijriah. Ketika itu, tantangan
dan masalah-masalah yang harus dicarikan solusinya bertambah beriringan
meluasnya wilayah kekuasaan
kaum muslim. Maka
para Ulama membutuhkan metode
yang mudah untuk
menyelesaikan masalah kemudian muncullah kaidah-kaidah
fiqih. Dalam buku
kaidah-kaidah fiqih karangan. Prof.H.A. Djazuli digambarkan
bahwa skema pembentukan
kaidah fiqih adalah
sebagai berikut: [6]
1. Sumber hukum Islam al-Quran dan
Hadis
2. Kemudian muncul Ushul Fiqih sebagai
metodologi di dalam
penarikan hukum.
3. Dengan metodologi Ushul Fiqih yang
menggunakan pola piker deduktif
menghasilkan fiqih
4. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi fiqih yang
banyak itu kemudian oleh ulama-ulama
diteliti persamaaanya dengan menggunakan pola pikkir induktif, kemudian dikelompokan
dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa
akhirnya disimpulkan menjadi kaidah fiqih.
5. Selanjunya kaidah-kaidah fiqih
tadi dikritisi kembali dengan menggunakan
banyak ayat dan hadis terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan
substansi ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi
6. Apabila sudah dianggap sesuai dengan
ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi,
kaidah fiqih itu akan menjadi kaidah fiqih yang mapan
7. Setelah itu, kaidah ini diterapkan
untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat dalam segala bidang dan
akhirnya memunculkan fiqih-fiqih baru;
8. Oleh karena itu tidak mengherankan
apabila ulama memberi fatwa terutama
di dalam
hal-hal baru.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan Qawa’id
Al-fiqihiyyah bermula dari keadaan dimana Rasulullah harus menjelaskan suatu
penyelesaian permasalahan pada masanya di mana penyelesainnya tidak terdapat
dalam al-Qur’an sehingga harus dengan istinbat Rasulullah Saw. Setelah Rasul
wafat kaidah fiqh (qawa’id al-fiqihiyyah) terus berkembang hingga saat ini.Pada periode Rasulullah Saw,
otoritas tertinggi dalam pengambilan
hukum dipegang oleh Rasulullah Saw. Semua persoalan yang ada di tengah
masyarakat bisa dijawab dengan sempurna oleh al-Qur’an dan hadis Nabi.
Setelah melewati masa pendasarannya ilmu fiqh mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal ini
ditandai dengan banyaknya bermunculan madzhab-madzhab yang
diantaranya adalah madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab
Syafi’i dan Madzhab Ahmad) sebagaimana
yang telah kita ketahui. Perkembangan berikutnya mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dari menulis, pembukuan, hingga penyempurnaannya
pada akhir abad ke-13 H.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Sudirman. Sejarah Qawa’id
Fiqhiyyah,
(Jakarta: Radar Jaya Offset 2004)
Ali
Geno.2010.http://www.Sejarah pertumbuhan,pembukuan,sistematika kaidah
fiqh.com.Posted 2 Februari 2010
Bakry,Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. (Jakarta:Raja
Grafindo Persada 2003)
Djazuli,A..Ilmu
Fiqih pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. (Jakarta:Kencana Prenada Media Grup 2006 )
[2]. Djazuli,A,2006,Ilmu
Fiqih (pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam),Jakarta,Kencana Prenada Media Grup,hal.14-15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar