Kamis, 01 November 2018

TUGAS MAKALAH MEDIASI BENTUK-BENTUK KONFLIK DALAM SENGKETA HUKUM PERDATA ISLAM(1) (Hak dan Kewajiban Suami Istri) LENGKAP


TUGAS MAKALAH
MEDIASI

BENTUK-BENTUK KONFLIK DALAM SENGKETA HUKUM PERDATA  ISLAM(1)
(Hak dan Kewajiban Suami Istri)




NAMA       :ULUL AZMI






JURUSAN AKHWAL SAKHSIYYAH 
FAKULTAS SYARI’AH 
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM (UIN) 
MATARAM
2018




KATA PENGANTAR


Bismillahirrahmaanirrahiim...
Assalamu ‘alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, puja beserta puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas Rahmat dan Hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas yang berbentuk makalah ini, pada mata kuliah “Mediasi”. Dan tak lupa pula kita haturkan Shalawat serta Salam atas junjungan Alam, yakni Nabi besar Muhammad SAW. Sebagai penuntun bagi umat Islam.
Adapun makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Mediasi”, pada program jurusan Akhwal Al-Syakhshiyyah (AS) semester IV (Empat), Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram.
Dan kami sangat menyadari di dalam penyusinan makalah kami ini, tentu terdapat banyak sekali kekeliruan dan kekurangannya, baik dari segi penyajian, tulisan maupun isinya. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca, sehingga kami dapat menyempurnakannya padamakalah berikutnya.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Mataram, 12Mei2018
                                                                                                        
Penyusun


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR  .............................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN  .......................................................................... 4
A.   Latar Belakang   ............................................................................. 4
B.   Rumusan Masalah  ....................................................................... 5
C.   Tujuan   ............................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN  ............................................................................ 6
A.   Definisi HukumPerdata Islam (1)................................................. 6
B.   Hak dan Kewajiban Suami Istri.................................................... 6
C.   HakdanKewajibanSuamiIstriAtasHartaBersama...................... 11
D.   Penyebab Terjadinya Konflik Dalam Rumah Tangga ............ 14
E.   Dasar/ Landasan Hukum penyelesaiannya.............................. 19
BAB III PENUTUP  .................................................................................... 20
KESIMPULAN  ........................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA  ................................................................................ 21







BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang
Pernikahan merupakan ikatan antara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir, pendidikan dan berbagai segi yang lainnya. Oleh karena itu, dibutuhkan kematangan dan kedewasaan berfikir serta daya adaptasi yang baik untuk dapat menjalani semua perbedaan yang ada. Selain itu, pernikahan adalah sebuah amanah dan tanggung jawab yang harus ditunaikan oleh suami dan istri dengan lapang dada.
Kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga tidak hanya bisa diukur dengan banyaknya harta dan tersedianya fasilitas mewah serta gaya hidup gelamor dan terpenuhinya kepuasan hubungan suami istri, akan tetapi kebahagiaan sebuah rumah tangga sangat ditentukan oleh sikap tanggung jawab dan kepedulian kedua pasangan terhadap kelangsungan hidup rumah tangga mereka, adanya kemauan dan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai macam problema rumah tangganya dengan tuntas, arif dan bijaksana
Dalam realita kehidupan, banyak kita jumpai pasangan yang tidak memahami hak dan kewajibannya dalam menggenggam peranannya sebagai suami istri. Karena itulah mereka tak pernah kering dari yang namanya konflik. Belum lagi ketika berbagai macam konflik tersebut tidak dihadapi dengan kepala dingin, sehingga akan mengundang satu kata yang sangat dibenci Allah, yaitu perceraian.
Kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga tidak hanya bisa diukur dengan banyaknya harta dan tersedianya fasilitas mewah serta gaya hidup gelamor dan terpenuhinya kepuasan hubungan suami istri, akan tetapi kebahagiaan sebuah rumah tangga sangat ditentukan oleh sikap tanggung jawab dan kepedulian kedua pasangan terhadap kelangsungan hidup rumah tangga mereka, adanya kemauan dan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai macam problema rumah tangganya dengan tuntas, arif dan bijaksana.
Oleh karena itu, perlulah sekiranya kita mengetahui hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga, sehingga akan mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah. Semoga dengan hadirnya makalah kami ini, dapat menghantarkan kita dalam mewujudkan dan membina rumah tangga yang bahagia di dunia sampai akhirat kelak.

B.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat ditarik berdasarkan latar belakang diatas adalah sebagai berikut:
1.    Apa yang dimaksud hukumperdata Islam (1)?
2.    Apasajahakdankewajibansuamiistridalamsebuahrumahtangga?
3.    Sepertiapahakdankewajibansuamiistriatashartabersamadalamperkawin?
4.    Faktorapasaja yang menyebabkanterjadinyakonflikdalamrumahtangga?
5.    Apadasar/landasanhukumdalammenyelesaikankonflikdalamrumahtangga?

C.   Tujuan
Ada beberapa tujuan yang dapat kita ambil berdasarkan rumusan masalah di atas, yaitu:
1.    Ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan hukum perdataislam (1)!
2.    Ingin mengetahui hakdankewajibansuamiistri!
3.    Agar mengetahuihakdankewajibansuamiistriatashartabersamadalamperkawinan!
4.    Agar mengetahui faktor yang menyebabkanterjadinyakonflikdalamrumahtangga!
5.    Supaya mengetahui dasar/landasan hukum penyelesaiannya!

BAB II
PEMBAHASAN


A.   DefinisiHukumPerdata Islam (1)
HukumPerdata Islam atau yang biasadisebutfiqihmu’amalahdalampengertianumumadalahnormahukum yang bermuatan (1) munakahat (hukum perkawinan yang mengatursegalasesuatu yang berkaitandenganperkawinan, perceraiansertaakibat-akibathukumnya); (2) wirasahataufaraid(hukumkewarisan yang mengatursegalapersoalan yang berhubungandenganpewaris, ahliwaris, hartapeninggalan, hartawarisan, sertapembagianhartawarisan). Selainpengertianumum yang dimaksud, fiqihmuamalahjugadalampengertiankhusus, mengaturmasalah-masalahkebendaandanhak-hakatasbenda, aturanmengenaijualbeli, sewa-menyewa,pinjam-meminjam, perserikatan, pengalihanhak, dansegala yang berkaitandengantransaksi.
Dari pengertianhukumperdata Islam di atas, dapatdiketahuidandipahamibahwasegalasesuatu yang berkaitandenganhukumperkawinan, kewarisan, danpengaturanmasalahkebendaandanhak-hakatasbenda, aturanjualbeli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, pengalihanhak, dansegala yang berkaitandengantransaksi.[1]

B.   HakdanKewajibanSuamiIstri
Hak dan kewajiban suami istri muncul sejak mereka terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah melalui akad. Pada saat itulah, suami istri memikul tanggung jawab untuk memenuhi hak dan kewajibannya sebagai suami istri.
Kewajiban adalah tanggung jawab yang harus dijalankan oleh suami atau istri untuk memenuhi kebutuhan lahiriah dan batiniah sebagai akibat hukum yang lahir akibat akad perkawinan. Sedangkan hak adalah konpensasi yang harus diterima oleh suami atau istri ketika salah satu pihak menjalankan kewajibannya. Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan bersifat mutual, dimana kewajiban suami menjadi hak bagi istri, dan sebaliknya kewajiban istri menjadi hak bagi suami. Ketika hak dan kewajiban tidak ditunaikan dengan sebaik-baiknya, maka akan memicu timbulnya konflik dalam suatu rumah tangga.
Konflik dalam hubungan perkawinan merupakan hal yang wajar dan tidak dapt dihindari. Konflik dalam perkawinan adalah situsi dimana pasangan yang saling bergantung mengekpresikan perbedaan dintara mereka dalam upaya mencapai kebutuhan kebutuhan dan minat masing-masing. Jika masing-masing individu dalam pasangan merasa ada yang menghalangi keinginan satu sama lain dalam mencapai suatu tujuan maka hal ini cenderung menimbulkan suatu konflik.
Berikut ini, akan di paparkan beberapa hak dan kewajiban suami istri.
1.    Hak Suami atas Istri
Diantara beberapa hak suami terhadap istrinya yang paling pokok adalah[2]:
a.    Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat.
b.    Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami.
c.    Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami.
d.    Tidak bermuka masam terhadap suami.
e.    Tidak menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami.
2.    Kewajiban Suami terhadap Istri
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap istri dijelaskan secara rinci sebagai berikut[3]:



Pasal 80

1.    Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganyam akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
2.    Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3.    Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.
4.    Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung;
a.    Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b.    Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
c.    Biaya pendidikan bagi anak.
5.    Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6.    Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7.    Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri nusyuz.
3.    Kewajiban Istri Terhadap Suami
Diantara beberapa kewajiban istri terhadap suami adalah sebagai berikut[4]:
1.    Taat dan patuh kepada suami.
2.    Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman.
3.    Mengatur rumah dengan baik.
4.    Menghormati keluarga suami.
5.    Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
6.    Tidak mempersulit suami dan selalu mendorong suami untuk terus maju.
7.    Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami.
8.    Selalu berhemat dan suka menabung.
9.    Selalu berhias, bersolek untuk atau di hadapan suami.
10. Jangan selalu cemburu buta.
Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan, hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34, yaitu[5]:
a.    Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
b.    Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
c.    Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
d.    Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.
e.    Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumah tempat kediaman ini ditentukan secara bersama-sama.
f.     Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lainnya.
g.    Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah-tangga sesuai dengan kemampuannya.
h.    Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.
i.      Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Sedangkan hak dan kewajiban suami istri menurut KUHPer adalah sebagai berikut:
a.    Suami dan istri harus setia dan tolong-menolong (Pasal 103 KUHPer).
b.    Suami istri wajib memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 104 KUHPer).
c.    Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-istri (Pasal 105 ayat 1 KUHPer).
d.    Suami wajib memberikan bantuan kepada istrinya (Pasal 105 ayat 2 KUHPer).
e.    Setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi istrinya (Pasal 105 ayat 3 KUHPer).
f.     Setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4 KUHPer).
g.    Suami tidak diperbolehkan memindah-tangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya, tanpa persetujuan si istri (Pasal 105 ayat 5  KUHPer).
h.    Setiap istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1 KUHPer).
i.      setiap istri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 ayat 2  KUHPer).
j.      Setiap suami wajib membentu istrinya di muka hakim (Pasal 110  KUHPer).
k.    Setiap istri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suaminya (Pasal 118  KUHPer).
Menurut pasal 111 KUHPer, bantuan suami kepada istrinya tidak diperlukan apabila:
a.    Si istri dituntut dimuka hakim karena sesuatu perkara pidana.
b.    Si istri mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian, pemisahan meja dan tempat tidur, atau pemisahan harta kekayaan.

C.   HakdanKewajibanSuamiIstriAtasHartaBersamaDalamPerkawinan[6]
Hartabersamadalamperkawinanmerupakansuatuhartabersama yang terikat (hakmilikbersama yang terikat), dimanaseorangsuamiataupunistritidakdapatberbuatbebasatashartabersamasecaramandiri, tetapi harusberdasarkanpersetujuankeduabelahpihak.
Hartabersamadalam UU Nomor 1 Tahun 1974, menurutSubekti, didasarkanpadapolahukumadat.Dalamhukumadat, hartaperkawinanlazimnyadapatdipisah-pisahkandalam 4 (empat) golongan, yaitusebagaiberikut:
a.    Barang-barang yang diperolehsuamiatauistrisecarawarisanataumenghibahkandarikerabatmasing-masingdandibawakedalamperkawinan.
b.    Barang-barang yang diperolehsuamiatauistriuntukdirisendirisertaatasjasadirisendirisebelumperkawinanataudalammasaperkawinan.
c.    Barang-barang yang dalammasaperkawinandiperolehsuamiatauistrisebagaimilikbersama.
d.    Barang-barang yang dihadiahkankepadasuamidanistribersamapadawaktupernikahan.
Hartabersamadalamperkawinan yang menganutpolahukumadat di aturdalamPasal 35 ayat (1) danayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974, yang memuatketentuankatagorialbahwahartabenda yang diperolehselamaperkawinanmenjadihartabersama;hartabawaanmasing-masingsuamiistridanharta yang diperolehmasing-masingsebagaihadiahatauwarisan, adalahdibawahpenguasaanmasing-masingsepanjangparapihaktidakmenentukan lain. Jadi, Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974 menggolongkanhartabendadalamperkawinanmenjadi 2 (dua) golongan, yaituhartabersamadanhartabawaan.
Hartabersamaadalahhartabenda yang diperolehselamaperkawinan, karenapekerjaansuamiatauistri.Iniberartihartabersamaadalahhartabenda yang diperolehselamajangkawaktuantarasaatperkawinansampaiperkawinanituputus, baikkarenakematianmaupunkarenaperceraian.Sedangkanhartabawaanadalahhartabendabawaanmasing-masingsuamidanistridanhartabenda yang diperolehmasing-masingsebagaihadiahatauwarisan yang berada di bawahpenguasaanmasing-masingsuamidanistrisepanjangsuamidanistritersebuttidakmenentukan lain.
Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974, menurutpenjelasanAgusTrisaka, memuatketentuanbahwasuatuperkawinan yang diselenggarakantanpaperjanjianperkawinanmengakibatkantimbulnyahartabawaan/pribadisuamiatauistri. Hal iniberartibahwahartabenda yang sudahdimilikiolehsuamiatauistrisebelumperkawinandilangsungkandanharta yang diperolehmasing-masingsebagaihadiahatauwarisanselamaperkawinanberlangsungtermasukkedalamhartabawaan, kecualijikadiperjanjikan lain olehparapihak, bahwahartatersebutmenjadihartabersama.
Namun, jikatidakdiperjanjikanlain, makahartatersebuttetapdikuasaiolehmasing-masingsuamiatauistritersebut.Suamiatauistridapatbertindakterhadaphartabersamaataspersetujuankeduabelahpihak, misalnyamenjualataumenggadaikan.Sedangkanterhadaphartabawaan, suamiatauistrimasing-masingmempunyaihaksepenuhnyaatashartabawaantersebut.Merekadapatmengadakanpersetujuanuntukdiurusolehsatupihakataupunberadadibawahpenguasaanmasing-masing.Jadi, jenishartasuamidanistri yang perlumendapatperlindunganhukum,yaitu:
a.    Harta yang bersumberdari orang tua, yang dapatberupawarisan, hibahdanhibahwasiat.
b.    Harta yang bersumberdari orang lain, yang dapatberupahibah, danhibahwasiat.
c.    Harta yang bersumberdaridirisendiri, yang berupapenghasilan.
Suamidanistrimempunyaihakuntukmelakukanperbuatanhukummengenaihartabawaanmasing-masing.Dengandemikian, jikasuamiakanmelakukanperbuatanhukummengenaihartabawaannya, makaiatidakmemerlukanpersetujuandariistrinya. Sebaliknya, jikaistriakanmelakukanperbuatanhukummengenaihartabawaannya, makaiatidakmemerlukanpersetujuandari suaminya. Ketentuanimpratif yang berbedaberlakuuntukhartabersama, dalamarti, jikasuamiakanmelakukanperbuatanhukummengenaihartabersama, makaiaharusmendapatkanpersetujuanistrinya, sebaliknya, jikaistriakanmelakukanperbuatanhukummengenaihartabersama, makaiaharusmendapatkanpersetujuandarisuaminya.
Kenyataannya, dalamperkawinanseringterjadisuamiistritidakdapatmengetahuimanahartabersamadanmanahartabawaan.Olehkarenaitu, menurutAgusTrisaka, walaupunwarisanatauhibahmerupkanhartabawaan, tetaplahdiperlukanperjanjianperkawinanuntuklebihmempunyaipembuktian yang kuat.
Hartapenghasilan yang diperolehselamaperkawinanakanmenjadihartabersamajikatidakadaperjanjianperkawinanberupapemisahanharta. Olehkarenanyauntukmelindungihartapenghasilansuamiistrisebaiknyadibuatdenganperjanjianperkawinan.

D.   Penyebab Terjadinya Konflik Dalam Rumah Tangga
Pernikahan, dalam arti menyatunya dua insan yang berbeda, dengan latar belakang kehidupan yang berbeda sangat memungkinkan timbulnya permasalahan dalam sebuah rumah tangga. Sehingga bagaimana tujuan pernikahan itu adalah dalam rangka membentuk keluarga yang bahagia, mawaddah warahmah sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Akan tetapi, keluarga bahagia, mawaddah warahmah tidak akan pernah terwujud apabila suami istri tidak menunaikan hak dan kewajibannya secara adil dan ma’ruf.[7]
Hak dan kewajiban suami istri terdiri atas hak dan kewajiban yang bersifat materiiil dan yang bersifat immateriil.[8] Hak dan kewajiban materiil yaitu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan lahiriah, seperti suami berkewajiban menyediakan sandang, pangan, papan, kesehatan serta pendidikan kepada istri dan anak-anaknya. Sedangkan hak dan kewajiban yang bersifat immateriil yaitu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan bathiniah, seperti hubungan seksual, kasih sayang, perlindungan dan jaminan keamanan yang harus diberikan suami kepada istrinya.Hoballah menyebutkan dari beberapa hasil penelitiannya, ditemukan bahwa penyebab utama ketidaknyamanan suatu rumah tangga dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri secara adil dan ma;ruf, baik hak dan kewajiban yang bersifat materiil ataupun yang bersifat immateriil.Namun, Hoballah juga mencatat bahwa kematangan emosional dari suami istri juga ikut berpengaruh terhadap kenyamanan, keserasian dan ketentraman dalam rumah tangga.[9] Sehingga, dua hal inilah yang menjadi faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya konflik atau persengketaan dalam suatu rumah tangga yang pada akhirnya akan mengarah pada putusnya perkawinan.
Sekalipun dalam keluarga yang harmonis konflik di antara anggota keluarga tidak jarang terjadi, penyebabnya bisa bermacam-macam. Terkadang konflik yang terjadi dapat semakin menguatkan ikatan dalam keluarga, tetapi tak jarang juga yang berujung dengan permusuhan jangka panjang yang tak kunjung menemukan solusi untuk mengatasinya.
Tuhan tidak pernah menginginkan umat-Nya saling terlibat dalam konflik, apalagi jika dilakukan dalam keluarga. Kehidupan ini hendaknya senantiasa selalu diisi dengan kebahagiaan, namun jika pertikaian dalam keluarga tak dapat dihindarkan bersedialah untuk mengalah, kendalikan emosi Anda, berperansertalah untuk menyelesaikannya, jangan biarkan berlarut-larut.
Tidak semua orang mampu atau memiliki keahlian dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Berikut adalah penyebab konflik dalam keluarga selain yang diatas, yaitu sebagai berikut:
1.    Merasa Tidak Dihargai.
2.    Kecemburuan.
3.    Masalah Privasi.
4.    Masalah Ekonomi.[10]
5.    Peleburan dua kultur keluarga.[11]
6.    Sensitif dan mudah tersinggung.
Sebagian suami atau istri mempunyai watak yang mudah tersinggung dan sangat sensitif, sehingga dalam menghadapi masalah sekecil apapun emosinya meluap-luap dan tidak mampu mengendalikan amarahnya. Adakalanya marah hanya karena masalah sepele, dan tidak bisa reda amarahnya kecuali dalam waktu yang lama. Sehingga hal ini akan memicu timbulnya konflik dalam rumah tangga.
7.    Suasana kisruh dan keruh.[12]
8.    Komunikasi macet.[13]
Seiring dengan berjalannya waktu, suami istri senantiasa disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing, dimana sang suami sibuk denngan pekerjaannya untuk mencari na.fkah, sementara istri sibuk dengan urusan rumah tangganya, mulai dari merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya atau terkadang juga istri sibuk dengan pekerjaannya sebagai wanita karier. Hal tersebut dapat membuat mereka terjebak dalam rutinitas keseharian dan sangat jarang bertemu, kecuali hanya pada waktu-waktu tertentu yang sangat singkat, sehingga muncullah rasa bosan yang menjemukan dalam kehidupan rumah tangga mereka, hingga mematikan komunikasi. Akibatnya, hubungan suami istri terasa hambar dan kaku, yang lambat laun makin parah dan mendekati kepunahan.
Adapun bentuk-bentuk Konflik Dalam Rumah Tangga, dapat di gambarkan sebagai berikut:
1.    Berebut perhatian antara menantu perempuan dan ibu mertua.[14]
Permasalahan ini sangat lazim terjadi di masyarakat, karena pihak pengantin putri merasa dihakimi keahliannya dalam mengurus suami beserta rumah tangganya. Sang ibu yang telah membesarkan anak laki-lakinya, biasanya merasa bimbang apakah menentunya juga bisa merawat anak yang kini menjadi seorang suami sebaik ia (ibunya). Sikap ini terkadang muncul secara berlebihan sehingga selalu mengkritik sikap dan prilaku menantu yang dianggapnya tidak sesuai dengan harapannya. Belum lagi tuntutan ibu mertua terhadap anaknya yang harus bersukap dan berperilaku sama seperti ketika masih lajang, yaitu selalu menomorsatukan kepentingan keluarga besar di atas kepentingan keluarganya sendiri (istrinya).

2.    Berebut pelayanan antara suami dan orang tua pihak perempuan.[15]
Perempuan sangat identik dengan tugas pelayanan dalam keluarganya. Ketika masih gadis, bentuk pelayanan tersebut dikhususkan kepada kedua orang tuanya. Namun ketika ia menikah, maka bentuk palayanan akan beralih kepada suaminya. Akan tetapi, akan timbul permasalahan tersendiri ketika sepasang pengantin masih tinggal serumah bersama orang tua pihak perempuan.
Meskipun suami lebih berhak atas istrinya daripada kedua orang tuanya, namun disini, jika kedudukan mereka masih menumpang di rumah orang tua pihak perempuan, dengan keadaan seperti ini, maka jelas peren kedua orang tua pihak perempuan masih sangat besar. Orang tua akan merasa anaknya masih tetap anaknya, karena masih tinggal seatap dengan mereka. Orang tua belum bisa memahami bahwa dalam agama, anak yang kini menjadi seorang istri, lebih berhak membaktikan diri kepada suaminya daripada kepada orang tuanya. Karena besarnya hak suami atas istri maka Rasulullah SAW. Bersabda, yang artinya: “ Andaikan seseorang boleh sujud kepada yang lain, maka aku akan memerintahkan wanita sujud kepada suaminya, karena besarnya haknya atas istrinya.” (HR. Bukhari Muslim).
3.    Berebut sumber daya antara anak, orang tua dan mertua.[16]
Pernikahan pada umumnya terjadi pada dua orang yang sudah matang dan mapan. Jika salah satu atau keduanya merupakan tulang punggung keluarga, salah satu atau keduanya harus hati-hati dalam menjalankan perekonomian agar bisa menjamin kehidupan keluarganya sebagaimana mestinya. Antara kewajiban terhadap orang tua dan kewajiban terhadap keluarga harus adil. Pihak laki-laki tidak bisa menyerahkan semua dana untuk orang tuanya sehingga pasangannya merasa tidak dinafkahi. Kisaran jumlah yang sepatutnya diserahkan kepada keluarga besarnya harus sepengetahuan dan mendapat persetujuan pasangannya.
Kasus semacam ini sangat banyak terjadi, karena orang tua masih memandang anaknya sebagai sumber ekonomi masa tuanya. Akibatnya, orang tua tetap meminta penghasilan anak tanpa mau tau apakah sang anak mempunyai keperluan pribadi atau tidak.

4.    Perasaan in group-out group dengan saudara ipar.[17]
Banyak kasus terjadi ketika ketika pengantin perempuan harus berhadapan dengen saudara ipar perempuan, entah itu adik maupun kakak dari suaminya. Permasalahan yang sering terjadi adalah tuntutan kesempurnaan sebagai perempuan yang piawai melaksanakan tugas domestik.
Sang pengantin baru akan diperhatikan segala gerak-gerik dan tingkah laku dan sikapnya. Terkadang kritik pedas langsung ia terima ketiaka sebuah sikap atau prilaku yang belum sesuai dengan budaya keluarga tersebut. Belum lagi, para saudara ipar yang sama-sama perempuan biasanya berprilaku seperti senior yang menganggap pengantin baru sebagai bawahannya yang serba mengalah atau diam dihadapannya. Perlakuan negatif dari saudara ipar, seperti sindiran, tatapan mata sinis, cuek terkadang diterima oleh pengantin perempuan.
5.    Kekerasan dalam rumah tangga.[18]
6.    Perselingkuhan.[19]
7.    Saling menyalahkan antara suami dan istri (ketika belum dikaruniai anak).[20]Dll

E.   Dasar/ Landasan Hukum Penyelesaiannya
Islam mengharapkan perkawinan yang akadnya bernilai sakral, dapat dipertahankan untuk selamanya oleh pihak suami istri. Namun, Islam juga memahami realitas kehidupan suami istri dalam rumah tangga yang kadang-kadang mengalami persengketaan yang berkepanjangan. Perselisihan antar suami istri yang memuncak dapat membuat rumah tangga tidak harmonis, sehingga akan mendatangkan kemudharatan. Oleh karena itu Islam membuka jalan berupa perceraian. Perceraian adalah putusnya perkawinan, dimana perceraian merupakan solusi terakhir yang harus ditempuh oleh semua pihak,[21] bukan solusi pertama untuk menyelesaikan masalah.
Persengketaan suami istri tidak serta- merta menjadi alasan yang memutuskan hubungan perkawinan, tetapi mengandung proses mediasi dan rekonsiliasi,[22] supaya rumah tangga mereka dapat dipertahankan.
Untuk mengatasi kemelut rumah tangga yang meruncing antara suami istri, Islam memerintahkan agar kedua belah pihak mengutus hakam (juru damai), dengan tujuan mencari solusi jalan keluar atas masalah yang dihadapi antara suami istri. Proses penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga ini, di dasarkan Firman Allah yang artinya: “ Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari pihak laki-laki dan keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[23]
Ayat tersebut menganjurkan adanya pihak ketiga atau mediator yang dapat membantu pihak suami istri dalam menempuh jalan keluar dalam sengketa rumah tangga mereka. Pihak ketiga ini terdiri atas wakil dari pihak suami dan pihak istri yang akan bertindak sebagai mediator. Imam Syihabudin Mahmud al-Alusi mengatakan bahwa pihak ketiga boleh saja berasal dari luar keluarga kedua belah pihak, jika dianggap lebih maslahat bagi kerukunan rumah tangga. Walaupun demikian, dalam pandangan Syihabudin, keluarga dekat akan lebih mengetahui seluk-beluk rumah tangga serta pribadi dari masing-masing suami-istri. Selain itu, keluarga dari kedua belah pihak adalah orang-orang yang sangat menginginkan tercapainya kedamaian dan kebahagiaan kedua suami-istri.



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Menikah merupakan penyatuan dua individu yang berbeda. Menikah bukan merupakan hasil akhir dari suatu hubungan, melainkan sebuah awal kehidupan yang baru yang harus dilandasi dengan perencanaan yang matang. Perbedaan-perbedaan yang ada seringkali menimbulkan masalah tersendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan kematangan dan kedewasaan berfikir serta daya adaptasi yang baik untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Perlu kita mengingat kembali, bahwa tujuan dari pernikahan adalah terbentuknya keluarga yang bahagia, mawaddah warahmah. Allah SWT. Berfirman, yang artinya: “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, diciptakan kepadamu pasangan dari dirimu, agar kamu cendrung kepadanya, dan kami jadikan di antaramu mawaddah warahmah...” (QS. Ar-Ruum: 21).
Keluarga bahagia, mawaddah warahmah hanya akan terwujud apabila suami dan istri menunaikan hak dan kewajibannya dengan adil dan ma’ruf. Sehingga jauh dari yang namanya perselisihan, yang pada akhirnya akan berakibat pada sebuah perceraian. Al-Qur’an mengingatkan agar sebaiknya perceraian dihindari, karena dampaknya bukan hanya akan dirasakan oleh pihak suami istri,  tetapi juga akan lebih buruk lagi dampaknya bagi anak-anak mereka, bahkan keluarga dari kedua belah pihak.
Dalam mengatasi segala macam problem rumah tangga, Islam menganjurkan  supaya mengutus hakam atau mediator. Sebagaimana Firman Allah SWT. yang artinya: “ Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari pihak laki-laki dan keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
DAFTAR PUSTAKA

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2011).
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
Nurul Chomaria, Sindrom Pernikahan: Solusi Problema Awal Pernikahan, (Solo: Tinta Medina, 2012).
Zaenal Abidin Bin Syamsudin, One Heart: Rumah Tangga Satu Hati Satu Langkah, (Jakarta Timur: Pustaka Imam Bonjol, 2013).
H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2009).
Al-Qur’anul Karim, Mushaf Al-Aliyy.



[1]  H. Zainuddin Ali, HukumPerdata Islam di Indonesia, (Jakarta: SinarGrafika, 2006), hlm. 1
[2] H. Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 158.
[3]Ibid., hlm. 161-162.
[4]Ibid., hlm. 163-164.
[5] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2009), hlm. 68-69.
[6]  Muhammad Syaifuddin, Turatmiyah, Annalisa Yahanan, HukumPerceraian, (Jakarta: SinarGrafika, 2014), hlm. 408-412.
[7]Adil dan ma’ruf disini adalah bagaimana suami dan istri itu melaksanakan kewajiban serta tanggung jawabnya secara berimbang berdasarkan kemampuan dari masing-masing pihak.
[8] Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.179.

[9]Ibid., hlm.180.
[10] Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 236.
[11] Nurul Chomaria, Sindrom Pernikahan: Solusi Problema Awal Pernikahan, (Solo: Tinta Medina, 2012), hlm. 93.
[12] Zaenal Abidin Bin Syamsudin, One Heart: Rumah Tangga Satu Hati Satu Langkah, (Jakarta Timur: Pustaka Imam Bonjol, 2013), hlm. 65.
[13]Ibid., hlm. 175.
[14] Nurul Chomaria, Loc. Cit.
[15]Ibid., hlm. 97.
[16]Ibid., hlm. 99.
[17]Ibid., hlm. 102
[18] Zaenal Abidin Bin Syamsudin, Op. Cit., hlm.155.
[19]Ibid., hlm. 98.
[20] Nurul Chomaria, Op, cit., hlm. 111.
[21] Zaenal Abidin Bin Syamsudin, Op, cit., hlm. 95.
[22] Syahrizal Abbas, Op, cit., hlm.181.
[23] Lihat Qur’an Terjemah (Mushaf  Al-Aliyy), Surat an-Nisa’ Ayat 35, hlm. 66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHUTBAH JUM'AT "ADA EMPAT TUJUAN DICIPTAKANNYA LISAN" MENURUT (Al-Imam Abu Hamid Muhammad)

  بسم الله الرحمن الرحيم اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ اَنْعَمَنَا بِنِعْمَة الْاِيْمَانِ وَ الْاِسْلَامِ وَ أَعْطَىنَا اللِّسَانَ بِاَفْصَحِ ا...