MEDIASI
BENTUK-BENTUK KONFLIK
DALAM SENGKETA HUKUM PERDATA ISLAM(1)
(Hak dan Kewajiban Suami Istri)
NAMA :ULUL AZMI
JURUSAN AKHWAL SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM (UIN)
MATARAM
2018
Bismillahirrahmaanirrahiim...
Assalamu
‘alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah,
puja beserta puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas Rahmat dan Hidayah-Nyalah
kami dapat menyelesaikan tugas yang berbentuk makalah ini, pada mata kuliah “Mediasi”.
Dan tak lupa pula kita haturkan Shalawat serta Salam atas junjungan Alam, yakni
Nabi besar Muhammad SAW. Sebagai penuntun bagi umat Islam.
Adapun
makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Mediasi”, pada
program jurusan Akhwal Al-Syakhshiyyah (AS) semester IV (Empat), Fakultas
Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram.
Dan
kami sangat menyadari di dalam penyusinan makalah kami ini, tentu terdapat
banyak sekali kekeliruan dan kekurangannya, baik dari segi penyajian, tulisan
maupun isinya. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari pembaca, sehingga kami dapat menyempurnakannya
padamakalah berikutnya.
Akhir
kata, tak ada gading yang tak retak.
Wassalamu
‘alaikum Wr. Wb.
Mataram,
12Mei2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 4
A.
Latar Belakang ............................................................................. 4
B.
Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan ............................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 6
A.
Definisi HukumPerdata Islam (1)................................................. 6
B.
Hak dan Kewajiban Suami Istri.................................................... 6
C.
HakdanKewajibanSuamiIstriAtasHartaBersama...................... 11
D.
Penyebab Terjadinya Konflik Dalam Rumah
Tangga ............ 14
E. Dasar/
Landasan Hukum penyelesaiannya.............................. 19
BAB III PENUTUP .................................................................................... 20
KESIMPULAN ........................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 21
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan
merupakan ikatan antara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari
segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir, pendidikan dan berbagai
segi yang lainnya. Oleh karena itu, dibutuhkan kematangan dan kedewasaan
berfikir serta daya adaptasi yang baik untuk dapat menjalani semua perbedaan
yang ada. Selain itu, pernikahan adalah sebuah amanah dan tanggung jawab yang
harus ditunaikan oleh suami dan istri dengan lapang dada.
Kebahagiaan
dalam sebuah rumah tangga tidak hanya bisa diukur dengan banyaknya harta dan
tersedianya fasilitas mewah serta gaya hidup gelamor dan terpenuhinya kepuasan
hubungan suami istri, akan tetapi kebahagiaan sebuah rumah tangga sangat
ditentukan oleh sikap tanggung jawab dan kepedulian kedua pasangan terhadap
kelangsungan hidup rumah tangga mereka, adanya kemauan dan kemampuan untuk
menyelesaikan berbagai macam problema rumah tangganya dengan tuntas, arif dan
bijaksana
Dalam
realita kehidupan, banyak kita jumpai pasangan yang tidak memahami hak dan
kewajibannya dalam menggenggam peranannya sebagai suami istri. Karena itulah
mereka tak pernah kering dari yang namanya konflik. Belum lagi ketika berbagai
macam konflik tersebut tidak dihadapi dengan kepala dingin, sehingga akan
mengundang satu kata yang sangat dibenci Allah, yaitu perceraian.
Kebahagiaan
dalam sebuah rumah tangga tidak hanya bisa diukur dengan banyaknya harta dan
tersedianya fasilitas mewah serta gaya hidup gelamor dan terpenuhinya kepuasan
hubungan suami istri, akan tetapi kebahagiaan sebuah rumah tangga sangat
ditentukan oleh sikap tanggung jawab dan kepedulian kedua pasangan terhadap
kelangsungan hidup rumah tangga mereka, adanya kemauan dan kemampuan untuk
menyelesaikan berbagai macam problema rumah tangganya dengan tuntas, arif dan
bijaksana.
Oleh
karena itu, perlulah sekiranya kita mengetahui hak dan kewajiban suami istri
dalam rumah tangga, sehingga akan mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah
warahmah. Semoga dengan hadirnya makalah kami ini, dapat menghantarkan kita
dalam mewujudkan dan membina rumah tangga yang bahagia di dunia sampai akhirat
kelak.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang dapat ditarik berdasarkan latar belakang diatas adalah sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud hukumperdata Islam (1)?
2.
Apasajahakdankewajibansuamiistridalamsebuahrumahtangga?
3.
Sepertiapahakdankewajibansuamiistriatashartabersamadalamperkawin?
4.
Faktorapasaja yang
menyebabkanterjadinyakonflikdalamrumahtangga?
5.
Apadasar/landasanhukumdalammenyelesaikankonflikdalamrumahtangga?
C. Tujuan
Ada beberapa tujuan yang dapat kita ambil berdasarkan rumusan
masalah di atas, yaitu:
1.
Ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan hukum
perdataislam (1)!
2.
Ingin mengetahui hakdankewajibansuamiistri!
3.
Agar
mengetahuihakdankewajibansuamiistriatashartabersamadalamperkawinan!
4.
Agar mengetahui faktor
yang menyebabkanterjadinyakonflikdalamrumahtangga!
5.
Supaya mengetahui dasar/landasan hukum penyelesaiannya!
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
DefinisiHukumPerdata Islam (1)
HukumPerdata Islam atau yang biasadisebutfiqihmu’amalahdalampengertianumumadalahnormahukum
yang bermuatan
(1) munakahat
(hukum
perkawinan yang mengatursegalasesuatu yang berkaitandenganperkawinan,
perceraiansertaakibat-akibathukumnya); (2) wirasahataufaraid(hukumkewarisan yang
mengatursegalapersoalan yang berhubungandenganpewaris, ahliwaris,
hartapeninggalan, hartawarisan, sertapembagianhartawarisan).
Selainpengertianumum yang dimaksud, fiqihmuamalahjugadalampengertiankhusus,
mengaturmasalah-masalahkebendaandanhak-hakatasbenda, aturanmengenaijualbeli, sewa-menyewa,pinjam-meminjam,
perserikatan, pengalihanhak, dansegala yang berkaitandengantransaksi.
Dari pengertianhukumperdata Islam di atas,
dapatdiketahuidandipahamibahwasegalasesuatu yang berkaitandenganhukumperkawinan,
kewarisan, danpengaturanmasalahkebendaandanhak-hakatasbenda, aturanjualbeli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, pengalihanhak, dansegala yang
berkaitandengantransaksi.[1]
B. HakdanKewajibanSuamiIstri
Hak dan kewajiban suami istri muncul
sejak mereka terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah melalui akad. Pada
saat itulah, suami istri memikul tanggung jawab untuk memenuhi hak dan
kewajibannya sebagai suami istri.
Kewajiban adalah tanggung jawab yang
harus dijalankan oleh suami atau istri untuk memenuhi kebutuhan lahiriah dan
batiniah sebagai akibat hukum yang lahir akibat akad perkawinan. Sedangkan hak
adalah konpensasi yang harus diterima oleh suami atau istri ketika salah satu
pihak menjalankan kewajibannya. Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan
bersifat mutual, dimana kewajiban suami menjadi hak bagi istri, dan
sebaliknya kewajiban istri menjadi hak bagi suami. Ketika hak dan kewajiban
tidak ditunaikan dengan sebaik-baiknya, maka akan memicu timbulnya konflik
dalam suatu rumah tangga.
Konflik dalam hubungan perkawinan
merupakan hal yang wajar dan tidak dapt dihindari. Konflik dalam perkawinan
adalah situsi dimana pasangan yang saling bergantung mengekpresikan perbedaan
dintara mereka dalam upaya mencapai kebutuhan kebutuhan dan minat
masing-masing. Jika masing-masing individu dalam pasangan merasa ada yang
menghalangi keinginan satu sama lain dalam mencapai suatu tujuan maka hal ini
cenderung menimbulkan suatu konflik.
Berikut ini, akan di paparkan
beberapa hak dan kewajiban suami istri.
1. Hak Suami
atas Istri
Diantara beberapa hak suami terhadap istrinya yang
paling pokok adalah[2]:
a. Ditaati
dalam hal-hal yang tidak maksiat.
b. Istri
menjaga dirinya sendiri dan harta suami.
c. Menjauhkan
diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami.
d. Tidak
bermuka masam terhadap suami.
e. Tidak
menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami.
2. Kewajiban
Suami terhadap Istri
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap
istri dijelaskan secara rinci sebagai berikut[3]:
Pasal 80
1. Suami adalah
pembimbing terhadap istri dan rumah tangganyam akan tetapi mengenai hal-hal
urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
2. Suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga
sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberi
pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.
4. Sesuai
dengan penghasilannya, suami menanggung;
a. Nafkah,
kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b. Biaya rumah
tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
c. Biaya
pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban
suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas
mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6. Istri dapat
membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban
suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri nusyuz.
3. Kewajiban
Istri Terhadap Suami
Diantara beberapa kewajiban istri terhadap suami
adalah sebagai berikut[4]:
1. Taat dan
patuh kepada suami.
2. Pandai
mengambil hati suami melalui makanan dan minuman.
3. Mengatur
rumah dengan baik.
4. Menghormati
keluarga suami.
5. Bersikap
sopan, penuh senyum kepada suami.
6. Tidak
mempersulit suami dan selalu mendorong suami untuk terus maju.
7. Ridha dan
syukur terhadap apa yang diberikan suami.
8. Selalu
berhemat dan suka menabung.
9. Selalu
berhias, bersolek untuk atau di hadapan suami.
10. Jangan
selalu cemburu buta.
Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan, hak dan
kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34, yaitu[5]:
a. Suami istri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat.
b. Hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
c. Masing-masing
pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
d. Suami adalah
kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.
e. Suami istri
harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumah tempat kediaman ini
ditentukan secara bersama-sama.
f. Suami istri
wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lainnya.
g. Suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah-tangga
sesuai dengan kemampuannya.
h. Istri wajib
mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.
i.
Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya,
masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Sedangkan hak dan kewajiban suami istri menurut KUHPer
adalah sebagai berikut:
a. Suami dan
istri harus setia dan tolong-menolong (Pasal 103 KUHPer).
b. Suami istri
wajib memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 104 KUHPer).
c. Setiap suami
adalah kepala dalam persatuan suami-istri (Pasal 105 ayat 1 KUHPer).
d. Suami wajib memberikan
bantuan kepada istrinya (Pasal 105 ayat 2 KUHPer).
e. Setiap suami
harus mengurus harta kekayaan milik pribadi istrinya (Pasal 105 ayat 3 KUHPer).
f. Setiap suami
berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4 KUHPer).
g. Suami tidak
diperbolehkan memindah-tangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak
milik istrinya, tanpa persetujuan si istri (Pasal 105 ayat 5 KUHPer).
h. Setiap istri
harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1 KUHPer).
i.
setiap istri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106
ayat 2 KUHPer).
j.
Setiap suami wajib membentu istrinya di muka hakim
(Pasal 110 KUHPer).
k. Setiap istri
berhak membuat surat wasiat tanpa izin suaminya (Pasal 118 KUHPer).
Menurut pasal 111 KUHPer, bantuan suami kepada
istrinya tidak diperlukan apabila:
a. Si istri
dituntut dimuka hakim karena sesuatu perkara pidana.
b. Si istri
mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian, pemisahan
meja dan tempat tidur, atau pemisahan harta kekayaan.
Hartabersamadalamperkawinanmerupakansuatuhartabersama yang terikat
(hakmilikbersama yang terikat),
dimanaseorangsuamiataupunistritidakdapatberbuatbebasatashartabersamasecaramandiri,
tetapi harusberdasarkanpersetujuankeduabelahpihak.
Hartabersamadalam UU Nomor 1 Tahun 1974, menurutSubekti,
didasarkanpadapolahukumadat.Dalamhukumadat,
hartaperkawinanlazimnyadapatdipisah-pisahkandalam 4 (empat) golongan, yaitusebagaiberikut:
a. Barang-barang yang diperolehsuamiatauistrisecarawarisanataumenghibahkandarikerabatmasing-masingdandibawakedalamperkawinan.
b. Barang-barang yang
diperolehsuamiatauistriuntukdirisendirisertaatasjasadirisendirisebelumperkawinanataudalammasaperkawinan.
c. Barang-barang yang
dalammasaperkawinandiperolehsuamiatauistrisebagaimilikbersama.
d. Barang-barang yang
dihadiahkankepadasuamidanistribersamapadawaktupernikahan.
Hartabersamadalamperkawinan yang menganutpolahukumadat di aturdalamPasal 35
ayat (1) danayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974, yang
memuatketentuankatagorialbahwahartabenda yang
diperolehselamaperkawinanmenjadihartabersama;hartabawaanmasing-masingsuamiistridanharta
yang diperolehmasing-masingsebagaihadiahatauwarisan,
adalahdibawahpenguasaanmasing-masingsepanjangparapihaktidakmenentukan lain.
Jadi, Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974 menggolongkanhartabendadalamperkawinanmenjadi
2 (dua) golongan, yaituhartabersamadanhartabawaan.
Hartabersamaadalahhartabenda yang diperolehselamaperkawinan,
karenapekerjaansuamiatauistri.Iniberartihartabersamaadalahhartabenda yang
diperolehselamajangkawaktuantarasaatperkawinansampaiperkawinanituputus,
baikkarenakematianmaupunkarenaperceraian.Sedangkanhartabawaanadalahhartabendabawaanmasing-masingsuamidanistridanhartabenda
yang diperolehmasing-masingsebagaihadiahatauwarisan yang berada di
bawahpenguasaanmasing-masingsuamidanistrisepanjangsuamidanistritersebuttidakmenentukan
lain.
Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974, menurutpenjelasanAgusTrisaka,
memuatketentuanbahwasuatuperkawinan yang diselenggarakantanpaperjanjianperkawinanmengakibatkantimbulnyahartabawaan/pribadisuamiatauistri.
Hal iniberartibahwahartabenda yang
sudahdimilikiolehsuamiatauistrisebelumperkawinandilangsungkandanharta yang
diperolehmasing-masingsebagaihadiahatauwarisanselamaperkawinanberlangsungtermasukkedalamhartabawaan,
kecualijikadiperjanjikan lain olehparapihak,
bahwahartatersebutmenjadihartabersama.
Namun, jikatidakdiperjanjikanlain,
makahartatersebuttetapdikuasaiolehmasing-masingsuamiatauistritersebut.Suamiatauistridapatbertindakterhadaphartabersamaataspersetujuankeduabelahpihak,
misalnyamenjualataumenggadaikan.Sedangkanterhadaphartabawaan,
suamiatauistrimasing-masingmempunyaihaksepenuhnyaatashartabawaantersebut.Merekadapatmengadakanpersetujuanuntukdiurusolehsatupihakataupunberadadibawahpenguasaanmasing-masing.Jadi,
jenishartasuamidanistri yang perlumendapatperlindunganhukum,yaitu:
a.
Harta yang bersumberdari orang
tua, yang dapatberupawarisan, hibahdanhibahwasiat.
b.
Harta yang bersumberdari orang
lain, yang dapatberupahibah, danhibahwasiat.
c.
Harta yang
bersumberdaridirisendiri, yang berupapenghasilan.
Suamidanistrimempunyaihakuntukmelakukanperbuatanhukummengenaihartabawaanmasing-masing.Dengandemikian,
jikasuamiakanmelakukanperbuatanhukummengenaihartabawaannya, makaiatidakmemerlukanpersetujuandariistrinya.
Sebaliknya, jikaistriakanmelakukanperbuatanhukummengenaihartabawaannya,
makaiatidakmemerlukanpersetujuandari suaminya. Ketentuanimpratif
yang berbedaberlakuuntukhartabersama, dalamarti,
jikasuamiakanmelakukanperbuatanhukummengenaihartabersama,
makaiaharusmendapatkanpersetujuanistrinya, sebaliknya,
jikaistriakanmelakukanperbuatanhukummengenaihartabersama,
makaiaharusmendapatkanpersetujuandarisuaminya.
Kenyataannya, dalamperkawinanseringterjadisuamiistritidakdapatmengetahuimanahartabersamadanmanahartabawaan.Olehkarenaitu,
menurutAgusTrisaka, walaupunwarisanatauhibahmerupkanhartabawaan,
tetaplahdiperlukanperjanjianperkawinanuntuklebihmempunyaipembuktian yang kuat.
Hartapenghasilan yang diperolehselamaperkawinanakanmenjadihartabersamajikatidakadaperjanjianperkawinanberupapemisahanharta.
Olehkarenanyauntukmelindungihartapenghasilansuamiistrisebaiknyadibuatdenganperjanjianperkawinan.
D. Penyebab
Terjadinya Konflik Dalam Rumah Tangga
Pernikahan,
dalam arti menyatunya dua insan yang berbeda, dengan latar belakang kehidupan
yang berbeda sangat memungkinkan timbulnya permasalahan dalam sebuah rumah
tangga. Sehingga bagaimana tujuan pernikahan itu adalah dalam rangka membentuk
keluarga yang bahagia, mawaddah warahmah sebagai bentuk ibadah kepada Allah.
Akan tetapi, keluarga bahagia, mawaddah warahmah tidak akan pernah terwujud
apabila suami istri tidak menunaikan hak dan kewajibannya secara adil dan ma’ruf.[7]
Hak dan
kewajiban suami istri terdiri atas hak dan kewajiban yang bersifat materiiil
dan yang bersifat immateriil.[8]
Hak dan kewajiban materiil yaitu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan lahiriah,
seperti suami berkewajiban menyediakan sandang, pangan, papan, kesehatan serta
pendidikan kepada istri dan anak-anaknya. Sedangkan hak dan kewajiban yang
bersifat immateriil yaitu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan bathiniah,
seperti hubungan seksual, kasih sayang, perlindungan dan jaminan keamanan yang
harus diberikan suami kepada istrinya.Hoballah menyebutkan dari beberapa hasil
penelitiannya, ditemukan bahwa penyebab utama ketidaknyamanan suatu rumah
tangga dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri secara adil
dan ma;ruf, baik hak dan kewajiban yang bersifat materiil ataupun yang bersifat
immateriil.Namun, Hoballah juga mencatat bahwa kematangan emosional dari suami
istri juga ikut berpengaruh terhadap kenyamanan, keserasian dan ketentraman
dalam rumah tangga.[9]
Sehingga, dua hal inilah yang menjadi faktor utama yang dapat menyebabkan
terjadinya konflik atau persengketaan dalam suatu rumah tangga yang pada
akhirnya akan mengarah pada putusnya perkawinan.
Sekalipun dalam keluarga yang
harmonis konflik di antara anggota keluarga tidak jarang terjadi, penyebabnya
bisa bermacam-macam. Terkadang konflik yang terjadi dapat semakin menguatkan
ikatan dalam keluarga, tetapi tak jarang juga yang berujung dengan permusuhan
jangka panjang yang tak kunjung menemukan solusi untuk mengatasinya.
Tuhan tidak pernah menginginkan
umat-Nya saling terlibat dalam konflik, apalagi jika dilakukan dalam keluarga.
Kehidupan ini hendaknya senantiasa selalu diisi dengan kebahagiaan, namun jika
pertikaian dalam keluarga tak dapat dihindarkan bersedialah untuk mengalah,
kendalikan emosi Anda, berperansertalah untuk menyelesaikannya, jangan biarkan
berlarut-larut.
Tidak semua orang mampu atau
memiliki keahlian dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Berikut adalah
penyebab konflik dalam keluarga selain yang diatas, yaitu sebagai berikut:
1. Merasa Tidak Dihargai.
2. Kecemburuan.
3. Masalah Privasi.
6. Sensitif dan mudah tersinggung.
Sebagian
suami atau istri mempunyai watak yang mudah tersinggung dan sangat sensitif,
sehingga dalam menghadapi masalah sekecil apapun emosinya meluap-luap dan tidak
mampu mengendalikan amarahnya. Adakalanya marah hanya karena masalah sepele,
dan tidak bisa reda amarahnya kecuali dalam waktu yang lama. Sehingga hal ini
akan memicu timbulnya konflik dalam rumah tangga.
Seiring
dengan berjalannya waktu, suami istri senantiasa disibukkan dengan pekerjaannya
masing-masing, dimana sang suami sibuk denngan pekerjaannya untuk mencari
na.fkah, sementara istri sibuk dengan urusan rumah tangganya, mulai dari
merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya atau terkadang juga istri sibuk
dengan pekerjaannya sebagai wanita karier. Hal tersebut dapat membuat mereka
terjebak dalam rutinitas keseharian dan sangat jarang bertemu, kecuali hanya
pada waktu-waktu tertentu yang sangat singkat, sehingga muncullah rasa bosan
yang menjemukan dalam kehidupan rumah tangga mereka, hingga mematikan
komunikasi. Akibatnya, hubungan suami istri terasa hambar dan kaku, yang lambat
laun makin parah dan mendekati kepunahan.
Adapun bentuk-bentuk
Konflik Dalam Rumah Tangga, dapat di gambarkan sebagai berikut:
1. Berebut perhatian
antara menantu perempuan dan ibu mertua.[14]
Permasalahan ini sangat lazim terjadi di masyarakat,
karena pihak pengantin putri merasa dihakimi keahliannya dalam mengurus suami beserta
rumah tangganya. Sang ibu yang telah membesarkan anak laki-lakinya, biasanya
merasa bimbang apakah menentunya juga bisa merawat anak yang kini menjadi
seorang suami sebaik ia (ibunya). Sikap ini terkadang muncul secara berlebihan
sehingga selalu mengkritik sikap dan prilaku menantu yang dianggapnya tidak
sesuai dengan harapannya. Belum lagi tuntutan ibu mertua terhadap anaknya yang
harus bersukap dan berperilaku sama seperti ketika masih lajang, yaitu selalu
menomorsatukan kepentingan keluarga besar di atas kepentingan keluarganya
sendiri (istrinya).
2. Berebut
pelayanan antara suami dan orang tua pihak perempuan.[15]
Perempuan sangat identik dengan tugas pelayanan dalam
keluarganya. Ketika masih gadis, bentuk pelayanan tersebut dikhususkan kepada
kedua orang tuanya. Namun ketika ia menikah, maka bentuk palayanan akan beralih
kepada suaminya. Akan tetapi, akan timbul permasalahan tersendiri ketika
sepasang pengantin masih tinggal serumah bersama orang tua pihak perempuan.
Meskipun suami lebih berhak atas istrinya daripada
kedua orang tuanya, namun disini, jika kedudukan mereka masih menumpang di
rumah orang tua pihak perempuan, dengan keadaan seperti ini, maka jelas peren
kedua orang tua pihak perempuan masih sangat besar. Orang tua akan merasa
anaknya masih tetap anaknya, karena masih tinggal seatap dengan mereka. Orang
tua belum bisa memahami bahwa dalam agama, anak yang kini menjadi seorang
istri, lebih berhak membaktikan diri kepada suaminya daripada kepada orang
tuanya. Karena besarnya hak suami atas istri maka Rasulullah SAW. Bersabda,
yang artinya: “ Andaikan seseorang boleh sujud kepada yang lain, maka aku
akan memerintahkan wanita sujud kepada suaminya, karena besarnya haknya atas
istrinya.” (HR. Bukhari Muslim).
3. Berebut
sumber daya antara anak, orang tua dan mertua.[16]
Pernikahan pada umumnya terjadi pada dua orang yang
sudah matang dan mapan. Jika salah satu atau keduanya merupakan tulang punggung
keluarga, salah satu atau keduanya harus hati-hati dalam menjalankan
perekonomian agar bisa menjamin kehidupan keluarganya sebagaimana mestinya.
Antara kewajiban terhadap orang tua dan kewajiban terhadap keluarga harus adil.
Pihak laki-laki tidak bisa menyerahkan semua dana untuk orang tuanya sehingga
pasangannya merasa tidak dinafkahi. Kisaran jumlah yang sepatutnya diserahkan
kepada keluarga besarnya harus sepengetahuan dan mendapat persetujuan
pasangannya.
Kasus semacam ini sangat banyak terjadi, karena orang
tua masih memandang anaknya sebagai sumber ekonomi masa tuanya. Akibatnya,
orang tua tetap meminta penghasilan anak tanpa mau tau apakah sang anak
mempunyai keperluan pribadi atau tidak.
4. Perasaan in
group-out group dengan saudara ipar.[17]
Banyak kasus terjadi ketika ketika pengantin perempuan
harus berhadapan dengen saudara ipar perempuan, entah itu adik maupun kakak
dari suaminya. Permasalahan yang sering terjadi adalah tuntutan kesempurnaan
sebagai perempuan yang piawai melaksanakan tugas domestik.
Sang pengantin baru akan diperhatikan segala
gerak-gerik dan tingkah laku dan sikapnya. Terkadang kritik pedas langsung ia
terima ketiaka sebuah sikap atau prilaku yang belum sesuai dengan budaya
keluarga tersebut. Belum lagi, para saudara ipar yang sama-sama perempuan
biasanya berprilaku seperti senior yang menganggap pengantin baru sebagai
bawahannya yang serba mengalah atau diam dihadapannya. Perlakuan negatif dari
saudara ipar, seperti sindiran, tatapan mata sinis, cuek terkadang diterima
oleh pengantin perempuan.
5. Kekerasan
dalam rumah tangga.[18]
6. Perselingkuhan.[19]
7. Saling
menyalahkan antara suami dan istri (ketika belum dikaruniai anak).[20]Dll
E. Dasar/
Landasan Hukum Penyelesaiannya
Islam
mengharapkan perkawinan yang akadnya bernilai sakral, dapat dipertahankan untuk
selamanya oleh pihak suami istri. Namun, Islam juga memahami realitas kehidupan
suami istri dalam rumah tangga yang kadang-kadang mengalami persengketaan yang
berkepanjangan. Perselisihan antar suami istri yang memuncak dapat membuat
rumah tangga tidak harmonis, sehingga akan mendatangkan kemudharatan. Oleh
karena itu Islam membuka jalan berupa perceraian. Perceraian adalah putusnya
perkawinan, dimana perceraian merupakan solusi terakhir yang harus ditempuh
oleh semua pihak,[21]
bukan solusi pertama untuk menyelesaikan masalah.
Persengketaan
suami istri tidak serta- merta menjadi alasan yang memutuskan hubungan
perkawinan, tetapi mengandung proses mediasi dan rekonsiliasi,[22]
supaya rumah tangga mereka dapat dipertahankan.
Untuk mengatasi kemelut rumah tangga yang meruncing antara suami istri,
Islam memerintahkan agar kedua belah pihak mengutus hakam (juru damai), dengan
tujuan mencari solusi jalan keluar atas masalah yang dihadapi antara suami
istri. Proses penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga ini, di dasarkan
Firman Allah yang artinya: “ Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari pihak laki-laki dan keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufiq kepada suami istri. Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”[23]
Ayat
tersebut menganjurkan adanya pihak ketiga atau mediator yang dapat membantu
pihak suami istri dalam menempuh jalan keluar dalam sengketa rumah tangga
mereka. Pihak ketiga ini terdiri atas wakil dari pihak suami dan pihak istri
yang akan bertindak sebagai mediator. Imam Syihabudin Mahmud al-Alusi
mengatakan bahwa pihak ketiga boleh saja berasal dari luar keluarga kedua belah
pihak, jika dianggap lebih maslahat bagi kerukunan rumah tangga. Walaupun
demikian, dalam pandangan Syihabudin, keluarga dekat akan lebih mengetahui
seluk-beluk rumah tangga serta pribadi dari masing-masing suami-istri. Selain
itu, keluarga dari kedua belah pihak adalah orang-orang yang sangat
menginginkan tercapainya kedamaian dan kebahagiaan kedua suami-istri.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Menikah
merupakan penyatuan dua individu yang berbeda. Menikah bukan merupakan hasil
akhir dari suatu hubungan, melainkan sebuah awal kehidupan yang baru yang harus
dilandasi dengan perencanaan yang matang. Perbedaan-perbedaan yang ada
seringkali menimbulkan masalah tersendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan
kematangan dan kedewasaan berfikir serta daya adaptasi yang baik untuk
mengarungi bahtera rumah tangga.
Perlu kita
mengingat kembali, bahwa tujuan dari pernikahan adalah terbentuknya keluarga
yang bahagia, mawaddah warahmah. Allah SWT. Berfirman, yang artinya: “Di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, diciptakan kepadamu pasangan dari dirimu,
agar kamu cendrung kepadanya, dan kami jadikan di antaramu mawaddah warahmah...”
(QS. Ar-Ruum: 21).
Keluarga bahagia,
mawaddah warahmah hanya akan terwujud apabila suami dan istri menunaikan hak
dan kewajibannya dengan adil dan ma’ruf. Sehingga jauh dari yang namanya
perselisihan, yang pada akhirnya akan berakibat pada sebuah perceraian.
Al-Qur’an mengingatkan agar sebaiknya perceraian dihindari, karena dampaknya
bukan hanya akan dirasakan oleh pihak suami istri, tetapi juga akan lebih buruk lagi dampaknya
bagi anak-anak mereka, bahkan keluarga dari kedua belah pihak.
Dalam
mengatasi segala macam problem rumah tangga, Islam menganjurkan supaya mengutus hakam atau mediator.
Sebagaimana Firman Allah SWT. yang artinya: “ Dan jika kamu khawatir ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari pihak laki-laki
dan keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri. Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.
DAFTAR
PUSTAKA
Syahrizal Abbas, Mediasi
Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2011).
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum
Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
Nurul Chomaria, Sindrom
Pernikahan: Solusi Problema Awal Pernikahan, (Solo: Tinta Medina, 2012).
Zaenal Abidin Bin Syamsudin,
One Heart: Rumah Tangga Satu Hati Satu Langkah, (Jakarta Timur: Pustaka
Imam Bonjol, 2013).
H. Simanjuntak, Pokok-Pokok
Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2009).
Al-Qur’anul
Karim, Mushaf Al-Aliyy.
[1] H. Zainuddin Ali, HukumPerdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: SinarGrafika, 2006), hlm. 1
[2] H. Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 158.
[5] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata
Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2009), hlm. 68-69.
[6] Muhammad Syaifuddin,
Turatmiyah, Annalisa Yahanan, HukumPerceraian,
(Jakarta: SinarGrafika, 2014), hlm. 408-412.
[7]Adil dan ma’ruf
disini adalah bagaimana suami dan istri itu melaksanakan kewajiban serta
tanggung jawabnya secara berimbang berdasarkan kemampuan dari masing-masing
pihak.
[8] Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah,
Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.179.
[10] Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 236.
[11] Nurul Chomaria, Sindrom Pernikahan: Solusi
Problema Awal Pernikahan, (Solo: Tinta Medina, 2012), hlm. 93.
[12] Zaenal Abidin Bin Syamsudin, One Heart: Rumah
Tangga Satu Hati Satu Langkah, (Jakarta Timur: Pustaka Imam Bonjol, 2013),
hlm. 65.
[14] Nurul Chomaria, Loc. Cit.
[18] Zaenal Abidin Bin Syamsudin, Op. Cit.,
hlm.155.
[20] Nurul Chomaria, Op, cit., hlm. 111.
[21] Zaenal Abidin Bin Syamsudin, Op, cit., hlm.
95.
[22] Syahrizal Abbas, Op, cit., hlm.181.
[23] Lihat Qur’an Terjemah (Mushaf Al-Aliyy), Surat an-Nisa’ Ayat 35, hlm.
66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar