MAKALAH
fiqh munakahat
"HADHANAH"
fiqh munakahat
"HADHANAH"
NAMA :ULUL AZMI
JURUSAN AHWAL SAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI'AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
MATARAM
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara garis besar hadhanah mengasuh
anak kecil atau anak abnormal yang belum atau tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidup sendiri, menjaga dari hal-hal yang membahayakan, memberinya pendidikan
fisik ataupun psikis, dan mengembangkan kemampuan intelektual agar sanggup
memikul tanggung jawabnya sendiri.
Pemeliharaan seorang anak sangat
penting untuk dilaksanakan, baik oleh ibunya ataupun dari bapaknya, akan tetapi
sering terjadi pendidikan anak di nomor duakan dari sebuah pekerjaan yang
dianggap lebih penting yang merupakan tuntunan untuk dirinya dan keluarganya,
sehingga tidak jarang terjadi pengasuhan, pendidikan seorang anak terlantar
disebabkan karena kedaan yang tidak memungkinkan atau bahkan dengan sengaja
dikesampingkan
Untuk itu perlu adanya kewajiban
dalam pengasuhan anak tersebut, kita sebagai insan yang berpengetahuan sangat
penting kiranya kita membahas tentang hadhanah atau pemeliharaan anak sejak ia
ahir sehingga seseorang tidak perlu membutuhkan jasa orang lain dalam urusan
keperluannya sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu hadhanah?
2. Apa saja hadits yang terkait tentang
hadhanah ini?
3. Bagaimana pendapat ulama tentang
hadhanah ini?
4. Apa saja syarat untuk mendapatkan hak
asu anak?
5. Kapan hadhanah itu berakhir?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata hidhan artinya lambung, para
ulama fiqh mendefenisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang
masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi
belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya
dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmaninya, rohaninya dan
akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.[1]
1. HADITS 1
عَنْ عَبْدِ
اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: (
يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اِبْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً, وَثَدْيِي
لَهُ سِقَاءً, وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً, وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي, وَأَرَادَ
أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ, مَا لَمْ تَنْكِحِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو
دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang
perempuan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang
mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang melindunginya.
Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: "Engkau lebih berhak terhadapnya
selama engkau belum nikah." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih
menurut Hakim.
a. Penjelasan
Kalimat
Wi'a disebut juga
dengan I'aa' yang berarti tempat, sebagaimana dalam Al-Qamus, Siqaa'
wazannya sama dengan Kisaa' artinya: kulit anak domba apabila digunakan
untuk menyimpan air dan susu seperti yang terdapat dalam "Kamus", Hijri
yaitu pengasuhan seseorang. Hiwa' tempat untuk mengumpulkan dan
menampung.
b. Tafsir Hadits
Hadits ini merupakan dalil bahwa seorang ibu
lebih berhak untuk mengasuh anaknya, jika bapak ingin merebutnya darinya,
wanita dalam hadits ini juga menyebutkan sifat-sifat khusus bagi seorang wanita
yang menguatkan keutamaannya mengasuh anaknya sendiri, bahkan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam menetapkan dan memutuskan hukum sesuai dengan keinginannya.
Hal ini mengingatkan kita bahwa alasan dan tujuan-tujuan utama dipertimbangkan
dalam menetapkan hukum; karena lahir dari fitrah manusia.
Tidak ada perbedaan ulama dalam menetapkan
hukum berkaitan dengan hadits ini, Abu Bakar dan Umar memutuskan perkara
berdasarkan hadits ini, Ibnu Abbas berkata, "Udara, kasur, kebebasan yang
diberikan seorang ibu lebih baik daripada bapak sampai anaknya dewasa (baligh)
dan memilih di antara keduanya." (HR. Abdurrazzaq) pada sebuah kisah.
Hadits ini menunjukkan juga apabila seorang ibu
tersebut menikah lagi, maka gugurlah haknya untuk mengasuh anaknya, inilah
pendapat jumhur ulama.
Ibnul Mundzir berkata, "Ulama berijma'
berdasarkan hadits ini." Al-Hasan dan Ibnu Hazm berpendapat tidak gugur
haknya mengasuh walaupun ia menikah lagi; berdasarkan pada kasus shahabat
seperti Anas bin Malik tetap bersama ibunya walaupun ia menikah lagi, demikian
juga Ummu Salamah yang menikah lagi, anaknya tetap ia asuh. Demikian juga anak
perempuan Hamzah, yang diputuskan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam agar diasuh
bibinya (dari bapak) sedangkan ia sudah menikah lagi. Lalu berkomentar: hadits
Ibnu Amar tersebut masih diperdebatkan, karena sebetulnya adalah lembaran,
sebab ada yang berpendapat: hadits Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya
adalah lembaran catatan.
Pendapat ini dibantah, bahwa para Imam Ahli
ilmu menerima dan mengamalkan hadits Amr bin Syu'aib, seperti: Al-Bukhari, Ahmad,
Ibnu Al-Madini, Ishaq bin Rahawaih dan lainnya; maka jangan pedulikan pendapat
mereka. Sedangkan kisah-kisah di atas yang dijadikan sebagai dalil, belum bisa
dijadikan dalil kecuali ada tuntutan dan pertentangan orang yang ingin
mengasuhnya, ketika tidak ada pertentangan dan tuntutan dari yang lainnya; maka
ibunya (walaupun) menikah lagi lebih berhak untuk mengasuh anaknya, dan juga
tidak disebutkan dalam kisah-kisah tersebut adanya pertentangan, maka hal itu
tidak bisa dijadikan dalil atas anggapan yang mereka kemukakan.[2]
2. HADITS 2
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ
زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي, وَقَدْ نَفَعَنِي, وَسَقَانِي مِنْ
بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ فَجَاءَ زَوْجُهَا, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم
يَا غُلَامُ! هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ, فَخُذْ بِيَدِ أَيُّهُمَا شِئْتَ
فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ, فَانْطَلَقَتْ بِهِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ,
وَالْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu
'anhu bahwa seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, suamiku ingin pergi
membawa anakku, padahal ia berguna untukku dan mengambilkan air dari sumur Abu
'Inabah untukku. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai anak
laki, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari yang engkau
kehendaki." Lalu ia memegang tangan ibunya dan ia membawanya pergi.
Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi.
a. Penjelasan
Kalimat
Hadits ini dishahihkan juga oleh Ibnu
Al-Qaththan.
b. Tafsir Hadits
Hadits ini merupakan dalil bahwa seorang
anak-anak ketika bisa mandiri diajukan dua pilihan antara ikut dengan ibunya
atau bapaknya. Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat: sebagian kecil ulama
berpendapat bahwa anak itu diajukan pilihan antara memilih ibu atau bapaknya
mengamalkan hadits ini, inilah pendapat Ishaq bin Rahawaih, batasan umur untuk
diajukan pilihan itu mulai dari usia tujuh tahun. Ai-Hadawiyyah dan
Al-Hanafiyyah berpendapat bahwa anak itu tidak diberikan untuk memilih, mereka
berkata, "Ibu lebih berhak mengasuh sampai anaknya bisa mandiri, apabila
sudah mandiri, bapak lebih berhak mengasuh anak laki-laki dan ibu mengasuh anak
perempuan." Malik sependapat untuk diberikan hak memilih, hanya saja
berkata, "Ibu lebih berhak mengasuh anak-anak, baik yang laki-laki maupun
perempuan."
Ada yang berpendapat: sampai anaknya mencapai
usia baligh. Dalam masalah ini, ada yang menjelaskan secara rinci, tapi semua
itu tidak berdasarkan pada dalil. Sedangkan yang berpendapat tidak diberikan
pilihan berdasarkan pada makna umum hadits tersebut yaitu "Kamu lebih
berhak selama belum menikah" mereka menambahkan: seandainya diberikan
pilihan kepada anak-anak, tentu ibu tidak berhak untuk mengasuhnya.
Pendapat itu dibantah; walaupun dalam masalah
ini, waktunya bersifat umum atau mutlak, namun hadits memberikan pilihan ini;
mengecualikan atau mengkhususkannya. Ini merupakan penggabungan yang baik
antara kedua dalil tersebut. Jika si anak tidak memilih salah satu kedua
orangtuanya, ada yang berpendapat: Ibunya lebih berhak mengasuhnya tanpa harus
diundi sebelumnya; karena mengasuh itu merupakan haknya, dan berpindah kepada
yang lainnya berdasarkan kerelaannya, maka ketika ia tidak memilih ke salah
satunya, diserahkan pengasuhannya kepada Ibunya -Ada yang berpendapat: ini
merupakan dalil dan solusi yang tepat-. Ada juga yang berpendapat: diundi
terlebih dahulu, karena ada hadits Abu Hurairah yang berkaitan dengan
pengundian tersebut dengan lafazh:
«اسْتَهِمَا،
فَقَالَ الرَّجُلُ مَنْ يَحُولُ بَيْنِي وَبَيْنَ وَلَدِي، فَقَالَ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - اخْتَرْ أَيَّهمَا شِئْت فَاخْتَارَ أُمَّهُ
فَذَهَبَتْ بِهِ»
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Undilah oleh kalian berdua" yang laki-laki berkata (bapak),
"Siapa yang bisa memisah saya dengan anakku?" Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Wahai anak, pilih di antara kedua orangtuamu yang
inginkan untuk mengasuhnya," maka ia memilih dan pergi bersama ibunya. [Al
Baihaqi 8/3]
Zhahir hadits ini, mendahulukan pengundian
daripada memberikan pilihan kepada anak, akan tetapi tidak demikian maknanya;
karena yang didahulukan itu bahwa ia diasuh oleh ibunya berdasarkan lafazh
hadits dan pengamalan Khulafa'ur Rasyidin, namun dalam kitab Al-Hadyu
An-Nabawi disebutkan: hak pilih dan undian, tidak bisa dilaksanakan kecuali
apabila mendatangkan kebaikan kepada si anak. Seandainya si Ibu lebih bisa
menjaga dan mendatangkan kebaikan kepada si anak; maka diberikan kepadanya,
dengan mengesampingkan hasil undian dan pilihan si anak; karena ia belum bisa
menggunakan daya nalar dan lebih mengutamakan main dan senda gurau. Apabila ia
memilih orang yang sering mengasuhnya (selain ibunya), maka diabaikan saja,
karena ia harus diasuh oleh yang memberi manfa'at dan kebaikan kepadanya,
inilah tujuan syari'at. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
«مُرُوهُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَى تَرْكِهَا
لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ»
“Suruhlah mereka (anak-anak) shalat ketika
mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah jika mereka mengabaikan shalat ketika
berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka." [Hasan
Shahih: Abu Daud 494]
Allah
Ta'ala berfirman,
{قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا}
“Peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka." (QS. At-Tahrim: 6),
apabila si ibu sering meninggalkannya untuk
kerja di kantor atau mengajarkan Al-Qur'an, sedangkan anaknya lebih
mengutamakan senda-gurau dan bermain-main dengan kawan sebaya, dan apabila
bapaknya lebih mampu untuk menjaga dan mengajarkan Al-Qur'an; maka ia lebih
berhak untuk mengasuhnya, dan tidak perlu pemberian hak pilih dan undian untuk
menentukan siapa pengasuhnya. Demikian juga sebaliknya. Ini merupakan pendapat
yang baik.[3]
3. HADITS 3
وَعَنْ رَافِعِ
بْنِ سِنَانٍ; ( أَنَّهُ أَسْلَمَ, وَأَبَتِ اِمْرَأَتُهُ أَنْ تُسْلِمَ
فَأَقْعَدَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اَلْأُمَّ نَاحِيَةً, وَالْأَبَ
نَاحِيَةً, وَأَقْعَدَ اَلصَّبِيَّ بَيْنَهُمَا فَمَالَ إِلَى أُمِّهِ, فَقَالَ:
اَللَّهُمَّ اِهْدِهِ فَمَالَ إِلَى أَبِيهِ, فَأَخَذَهُ ) أَخْرَجَهُ أَبُو
دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَالْحَاكِمُ
Dari Rafi' Ibnu Sinan Radliyallaahu 'anhu bahwa ia masuk
Islam namun istrinya menolak untuk masuk Islam. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam mendudukkan sang ibu di sebuah sudut, sang ayah di sudut lain, dan
sang anak beliau dudukkan di antara keduanya. Lalu anak itu cenderung mengikuti
ibunya. Maka beliau berdoa: "Ya Allah, berilah ia hidayah." Kemudian
ia cenderung mengikuti ayahnya, lalu ia mengambilnya. Riwayat Abu Dawud dan
Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim.
Ibnu Al-Mundzir berkata, "Hadits ini tidak
ditetapkan pakar hadits, sanadnya rawinya diperbincangkan para pakar hadits,
karena dari riwayat Abdul Hamid bin Ja'far bin Rafi', ia dinilai dha'if oleh
Ats-Tsauri dan Ibnu Yahya bin Ma'in.
Ulama berbeda pendapat tentang jenis kelamin si
anak. Ada yang berpendapat: Ia adalah perempuan. Ada yang berpendapat: Ia
adalah laki-laki. Hadits ini tidak menyebutkanbahwa si anak diberikan hak
pilih, karena zhahirnya si anak belum mencapai usia yang memungkinkannya untuk
bisa memilih, melainkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendudukkannya di
antara keduanya, lalu mendoakannya agar diberi hidayah oleh Allah; maka ia
memilih bapak berkat doa dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan hadits ini
bukan merupakan dalil pemberian hak pilih.
b. Tafsir Hadits
Hadits ini merupakan dalil yang menetapkan hak
asuh atas ibu yang kafir, walaupun anaknya seorang muslim; sebab jika tidak,
tentu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak akan mendudukkannya di antara
keduanya.
Itulah pendapat para pakar logika dan
Ats-Tsauri. Jumhur ulama berpendapat bahwa ibu yang kafir tidak berhak mengasuh
anaknya, mereka berkata: karena seorang pengasuh bertanggung jawab memberikan
pendidikan agama pada anaknya, dan Allah Ta'ala menggugurkan perwalian antara
orang kafir dan muslim dan hanya menjadikan perwalian di antara kaum muslim
saja.
Firman
Allah Ta'ala,
{وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
سَبِيلا}
'Dan Allah sekali-kali
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang
yang beriman." (QS. An-Nisaa': 141),
dan pengasuhan itu harus memperhatikan
kemashlahatan bagi si anak seperti yang telah kamu ketahui, dan hadits Rafi'
sudah kamu ketahui tidak bisa dijadikan dalil. Seandainya hadits ini shahih,
akan tetapi mansukh dengan ayat Al-Qur'an tersebut, lalu bagaimana menetapkan
pengasuhan kepada ibu yang kafir umpamanya. Jumhur ulama, Al- Hadawiyyah,
pengikut Ahmad dan Asy-Syafi'i mensyaratkan 'adalah (prilaku yang baik) bagi
ibu yang mengasuh dan tidak berhak bagi ibu yang fasik. Walaupun syarat itu
sangat berat, seandainya itu syarat mutlak dalam mengasuh; berapa banyak anak
yang tidak akan diasuh oleh ibunya. Sudah maklum, sejak diutus Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam smpai hari kiamat kelak, bahwa orangtua fasik mengasuh
anak-anak mereka, tidak ada seorang pun yang memprotes hal tersebut walaupun
mereka banyak, dan tidak diketahui bahwa ada seorang yang merebut anak dari
kedua orangtuanya karena kefasikan keduanya; maka syarat tersebut adalah batil,
karena tidak ada yang mengamalkan. Memang disyaratkan bahwa Ibu pengasuh harus
berakal, baligh; maka tidak boleh pengasuhan anak itu diserahkan kepada orang
gila, lemah akal dan orang yang masih anak-anak; karena sebetulnya mereka
sendiri membutuhkan pengasuhan dari lainnya.
Al-Hadawiyyah dan Ats-Tsalatsah (imam yang
tiga) mensyaratkan si pengasuh harus merdeka, mereka berkata, "Karena
budak tidak memiliki kekuasaan atas dirinya sendiri, bagaimana ia bisa mengasuh
yang lainnya, karena pengasuh itu adalah kekuasaan untuk berbuat demi kebaikan
si anak."
Malik berpendapat tentang laki-laki merdeka
mempunyai anak dari budak wanita: bahwa ibunya lebih berhak mengasuhnya selama
belum dijual, jika ia; maka bapaknya lebih berhak mengasuhnya berdasarkan
keumuman hadits,
«لَا تُوَلَّهُ وَالِدَةٌ عَنْ وَلَدِهَا»
"Jangan dipisah anak dari ibunya"
[dha'if, Dha'if Al-Jami' (6280)]
Dan
hadits:
«مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ وَالِدَةٍ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ
بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
"Siapa yang memisahkan ibu dari anaknya,
maka Allah akan memisahkan dari orang yang dicintai pada hari kiamat.”[shahih, Shahih
Al-Jami' (6412)]
Hadits pertama diriwayatkan Al-Baihaqi dari
hadits Abi Bakr, dan dinggap hasan menurut As-Suyuthi.
Hadits yang kedua, diriwayatkan Ahmad,
At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari hadits Abi Ayyub. Hadits shahih menurut Al-Hakim,
ia berkomentar, "Walaupun manfaat yang dikerjakan semuanya diperuntukkan
bagi majikannya, namun hak mengasuh anak adalah pengecualiannya, walaupun semua
waktu dihabiskan untuk mengasuh dan beribadah kepada Allah."[4]
4. HADITS
PENDUKUNG
وَعَنْ الْبَرَاءِ
بْنِ عَازِبٍ «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَضَى فِي
ابْنَةِ حَمْزَةَ لِخَالَتِهَا، وَقَالَ: الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ».
أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ - وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ -، فَقَالَ: «وَالْجَارِيَةُ عِنْدَ خَالَتِهَا، وَأَنَّ
الْخَالَةَ وَالِدَةٌ»
Dari Al-Bara' bin Azib bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam memutuskan puteri Hamzah agar dipelihara saudara perempuan
ibunya. Beliau bersabda, "Saudara perempuan ibu (bibi) kedudukannya sama
dengan ibu." (HR. Al-Bukhari)
a. Tafsir Hadits
Hadits ini menetapkan hak mengasuh kepada
saudara perempuan ibu (bibi), kedudukannya sama dengan ibu, maknanya juga bahwa
saudara perempuan lebih utama daripada bapak dan nenek dari ibu, namun ijma'
ulama mengecualikan tentang hal itu.
Zhahirnya, bahwa saudara perempuan ibu lebih
utama daripada yang laki-laki, karena Ashabah laki-laki saat itu ada, mereka
meminta agar mengasuh seperti yang terdapat dalam kisah: Ali, Ja'far dan Zaid
Ibnu Haritsah berselisih pendapat tentang anak itu sebagaimana dalam kisah
dahulu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memutuskan hak asuhnya kepada saudara
perempuan ibu dan berkata, "Saudara perempuan ibu, kedudukannya sama
dengan ibu." Ada kisah tentang hal itu yang diriwayatkan bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam memutuskan hak asuhnya kepada Ja'far, maka
keputusan itu menyulitkan; karena ia bukan Mahram bagi si puteri Hamzah, dan
Ali juga Radhiyallahu Anhu kekerabatannya sama dengan si puteri Hamzah.
Keputusannya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memutuskan hak asuhnya kepada
isteri Ja'far yang merupakan saudara perempuan ibu yang tidak lain adalah
isteri Ja'far yang menj adi tanggungannya. Akan tetapi, karena yang menuntut Ja'far
ketika ia berkata dalam perbedaan pendapat dengan yang lainnya, "Puteri
pamanku (saudara bapak) dan saudara perempuan ibu berada dalam
tanggunganku." Maksudnya, hak asuhnya adalah isteriku karena zhahirnya dia
yang menuntut. Nabi bersabda, "Saudara perempuan ibu, kedudukannya sama
dengan ibu"menegaskan bahwa hak asuhnya diberikan kepada saudara
perempuan ibu, yaitu isteri Ja'far;-karena Ja'far yang menuntut. Apabila
demikian, tentu tidak ada permasalahan, hanya saja yang dipermasalahkan kedua
kali adalah bahwa saudara perempuan ibu itu bersuami, dan ia tidak hak lagi
untuk mengasuh berdasarkan hadits, "Kamu (ibu) lebih berhak mengasuhnya
selama belum menikah lagi."
Jawaban atas hal itu, bahwa yang benar bagi
yang sudah menikah lagi adalah mengurusi suami, dan hak asuhnya gugur; karena
ia sibuk memenuhi hak dan melayaninya. Apabila si suami ridha', kalau isterinya
mengasuh siapa yang berhak diasuh, dan juga senang ketika isterinya mengasuh;
maka hal itu tidak menggugurkan hak asuhnya terhadap anak tersebut. Kisah dalam
hadits ini merupakan dalil dalam memutuskan hukum itu, inilah madzhab Al-Hasan,
Imam Yahya, Ibnu Hazm dan Ibnu Jarir; karena menikah lagi bagi seorang wanita
hanya menggugurkan haknya mengasuh, sebab bapaknya (suaminya) memprotes karena
sebagian hak-haknya terabaikan. Sedangkan hak asuhnya tidak gugur karena ia
menikah, atau hak statusnya sebagai seorang ibu apalagiyang memprotes bukan
bapak (suaminya) diperkuat lagi sebagaimana yang telah kamu ketahui, bahwa
seorang wanita yang dicerai sangat membenci suaminya dan semua yang masih
hubungan dengannya, kalau ia akan mengabaikan anaknya; dengan niat agar
suaminya (mantan) marah kepadanya, sebaliknya ia akan menunjukkan sikap sayang
kepada suaminya yang baru dengan selalu memenuhi hak-haknya. Dengan demikian,
pemahaman ini mencakup hadits tersebut. Sedangkan pendapat yang menyebutkan
bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memutuskan hak asuhnya kepada Ja'far
sebagai dalil bahwa kekerabatan Ashabah mempunyai hak mengasuh tidak tepat,
karena antara Ja'far dan Ali kedudukan Ashabah keduanya sama, namun karena Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Saudara perempuan ibu seperti
ibu kedudukannya" jelas-jelas menyebutkan alasan Nabi memberikan hak
asuhnya kepadanya, karena seorang ibu tidak ada yang merampas haknya, hak
mengasuh anaknya, sebab yang lainnya tidak berhak untuk mendapatkan hak
tersebut.[5]
B. Syarat untuk
mendapatkan hak asuh anak
kalangan ahli
fiqh menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus
dipnuhi. Jika syarat ini tidak dipenihi maka hak asuh anak hilang,
syarat-syarat tersebut adalah:
a. Berakal dan
telah baligh, sebab kelompok ini masih memerlukan orang yang dapat menjadi wali
atau bahkan mengasuh mereka, jika mereka masih membutuhkan wali dan pengasuh,
maka mereka pun tidak pantas untuk menjadi pengasuh untuk orang lain.
b. Agama yang
mengasuh haruslah sama dengan anak yang diasuh, sehingga orang kafir tidak
berhak untuk mengasuh anak muslim. Hal ini didasrkan pada dua hal:
a) Orang yang
mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya, dan ini adalah bahaya terbesar yang dialami sianak, dan telah
dijelaskan dalam sabda Nabi :”setiap anak lahir dalam keadaan fitrah ( suci
), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai yahudi, nasrani dan
majusi” ( HR. Bukhari dan Muslim ) hadist ini menunjukkan bahwa agama anak
tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.
b) Hak asuh anak
itu sama dengan perwalian.
c. Mampu mendidik,
sehingga orang yang buta, terbelenggu dan hal-hal lain yang dapat membahayakan
atau anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak.
C. Berakhirnya masa pengasuhan dan
konsekuensinya
1. Jika anak yang diasuh adalah anak
laki-laki. Terkait dengan anak laki-laki yang telah selesai masa pengasuhannya,
muncul tiga pendapat dikalangan ulama:
a.
Mazhab
Hanafi, ayah lebih berhak mengasuh sianak, dengan alasan bahwa jika seorang
anak laki-laki telah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan
adalah pendidikan dan perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini siayah lebih
mampu dan lebih cepat.
b. Mazhab Maliki, ibu lebih berhak
selama sianak belum baligh.
c.
Mazhab
Syafi’i dan Ahmad, anak diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara
keduanya, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah: “Wahai Rasulullah, suamiku
ingin membawa serta anakku dan anakku telah meminumiku dari sumurAbu Inabah
serta memberi manfaat padaku, Rasul bersabda berundilah kalian berdua untuknya,
sisuami menjawab, siapa yang lebih berhak dari pada aku terhadap anakku? Nabi
bersabda pada sianak agar memilih, ini ayahmu dan ini ibumu, ambillah tangan
salah satu dari keduanya yang kamu suka, lalu ia meraih tangan ibunya, dan
lantas siibu pergi dan membawanya”
2. Jika anak yang diasuh adalah
perempuan. Para ulama berbeda pendapat, kalangan mazhab maliki berpendapat
bahwa anak tetap tinggal bersama ibunya hingga anak perempuan tersebut telah
menikah dan telah berhubungan intim dengan suaminya. Dengan mengacu pada
pendapat imam ahmad, kalangan mazhab hanafi berpendapat bahwa manakala telah
mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada ayahnya. Kalangan mazhab
hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada ayahnya apbila telah mencapai
umur 7 tahun. Sementara menurut mazhab syafi’i berpendapat bahwa perempuan
diberi kesempatan menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak
untuk hidup bersama orang yang menjadi pilihannya ( ayahnya atau ibunya ). Ibnu
Taimiyah lebih berpendapat bahwa anak perempuan tidak diberi kesempatan
memilih. Ia bisa hidup dari salah satu antara keduanya apbila orang tua yang ia
ikuti ini taat kepada Allah dalam mendidik anak.
1. Ibu adalah
orang paling berhak mengasu anak, ibu kandung sianak tentu lebih berhak
mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan antara suami dan istri, baik karena
talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu
jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang
menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.
2. Urutan orang
yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung
Ulama berbeda
pendapat siapa saja yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung bila
ternyata ada penyebab yang menhalangi ibu kandung untuk mendapatka hak asuhnya.
Menurut kalangan mazhab Hanafi bahwa orang yang paling berhak mengasuh anak
adalah : ibu kandungnya sendiri, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah,
saudara perempuan (kakak perempuan), bibi dari pihak ibu, anak perempuan
saudara perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, dan bibi dari pihak ayah.
Sedangkan kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai
dari: ibu kandung, nenek dari pihak ibu, bibi dari pihak ibu, nenek dari pihak
ayah, saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, anak perempuan dari saudara
laki-laki, penerima wasiat, dan kerabat lain yang lebih utama. Menurut kalangan
mazhab Syafi’i hak anak asuh dimulai dari: ibu kandung, nenek dari pihak ibu,
nenek dari pihak ayah, saudara perempuan, bibi dari pihak ibu, anak perempuan
dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, bibi dari pihak
ayah, dan kerabat yang masih menjadi mahram bagisi sianak yang mendapatka
bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. Menurut
kalangan mazhab hanbali: ibu kandung, nenek dari pihak ibu, kakek dan ibu
kakek, bibi dari kedua orang tua, saudara perempuan seibu, saudara perempuan
seayah, bibi dari ibu kedua orang tua, bibinya ibu, bibinya ayah, bibinya ibu
dari jalur ibu, bibinya ayah dari jalur ibu, bibinya ayah dari pihak ayah, anak
perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari paman ayah dari pihak
ayah, kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahwa salah satu syarat bagi yang melakukan
hadhanah adalahberagama islam, artinya bila seorang ibu tidak beragama islam,
maka gugurlah hak hadhanah terhadap anaknya yang beragama islam. Karena dalam
kasus tersebut anak yang diperkarakan adalah beragama islam, karena dilahirkan
dari pasangan yang beragama islam dan nikah secara islam. Melihat kenyataan
demikian , maka masalahnya menjadi jelas bahwa hak hadhanah berpindah kepada
yang beragama islam yaitu penggugat( ayahnya).
Hadhanah sangat tekait dengan tiga hak:
a. Hak wanita yang
mengasuh
b. Hak anak yang
diasuh
c. Hak ayah atau
orang yang menempati posisinya.
B. Saran
Dalam penulisan
makalah ini penulis sangat menyadari betapa banyaknya kelemahan dan kekurangan
yang terdapat didalamnya, maka dari itu penulis sangat mengharapkan sekali
kritikan-kritikan serta saran-saran yang sifatnya membangun dari pembaca demi
kesuksesan makalah berikutnya, terutama sekali dari dosen pembimbing.
Mudah-mudahan
makalah ini dapat dipahami oleh pembaca sekalian. Akhirnya kepada Allah penulis
mohon ampun dan kepada pembaca sekalian penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
[2]
Ash-Shan’ani, Imam Muhammad
bin Isma'il bin Amir Al-Yamani. 1995.
Subulus Salam Syarah
Bulughul Marom Min Jam'i Asillatil Ahkam, Maktabah Nazar Musthofa Al-Baz, Riyadh - Arab Saudi
[3]
Ash-Shan’ani, Imam Muhammad
bin Isma'il bin Amir Al-Yamani. 1995.
Subulus Salam Syarah
Bulughul Marom Min Jam'i Asillatil Ahkam, Maktabah Nazar Musthofa Al-Baz, Riyadh - Arab Saudi
[4]
Ash-Shan’ani, Imam Muhammad
bin Isma'il bin Amir Al-Yamani. 1995.
Subulus Salam Syarah
Bulughul Marom Min Jam'i Asillatil Ahkam, Maktabah Nazar Musthofa Al-Baz, Riyadh - Arab Saudi
[5]
Ash-Shan’ani, Imam Muhammad
bin Isma'il bin Amir Al-Yamani. 1995.
Subulus Salam Syarah
Bulughul Marom Min Jam'i Asillatil Ahkam, Maktabah Nazar Musthofa Al-Baz, Riyadh - Arab Saudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar